Oleh: Fauz Noor

Nenek moyang kita orang mulia. Orang tua kita manusia penuh sahaja. Rasa kesal, protes, muak, kekesalan terhadap anak-anak muda, dituangkan dalam tembang. Digubahlah bait-bait syair, tepatnya 100 bait, dengan segudang nasihat. Orang itu menamakan tembangnya, Serat Wedhatama. Serat artinya kitab, wedha artinya pengetahuan, dan tama adalah utama. Kitab Pengetahuan Utama. Konon, penyusun serat ini Mangkunegara IV di tahun 1905, tapi tak seorang bisa memastikan dengan pasti.

Bagi saya, siapa yang menyusun Serat Wedhatama bukalah persoalan. Yang terpenting adalah apa yang diujarkannya. Indur ma qala wa la tandhur man qala. Iya, serat ini adalah satu nasihat. Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu. Tan mesthi neng janma wredha. Tuwin mudha sudra kaki. (Ketahuilah bahwa senyatanya ilmu, tidak harus dikuasai orang tua. Bisa juga dikuasai orang muda dan orang miskin).

Setelah menasehati, ia mengkrtik. Katungkul mungkul sami, bangkrakan mring masjid agung (asyik masuk beramai-ramai, memamerkan diri di masjid agung).

Tergambar di sana, anak-anak muda di zaman itu, giat menjalankan syariat agama. Mereka bahkan pandai berkhotbah dengan melodi dangdanggula. Tapi pada dasarnya memendam pamrih untuk “dipuji”. Seperti diujarkan Rumi, mereka membangun cermin tempat mereka berkaca menyaksikan dan membenarkan diri mereka sendiri. Padahal, yang mereka saksikan hanyalah maya, tak nyata. Artinya, semangat syariat kuat tapi kosong dari hakikat.

Bagi penulis Wedhatama, orang-orang yang benar tekun beragama adalah justru yang tuman tumanen ing sepi (terbiasa gemar tertanam dalam sepi). Tak aneh, siapapun yang membaca puisi panjang ini, akan menangkap ajaran tasawuf yang kental disana. Pendirian penulis Wedhatama adalah sikap yang tak betah kepada mereka yang repot oleh syari’at. Dalam imajinasi saya, penulis Wedhatama gusar terhadap anak muda yang kepincut akan teriakan-teriakan tentang Islam yang “bising”, mengusik kesunyian, mengganggu ketenangan. Padahal, syari’at itu hanyalah jalan untuk, meneguhkan laku silih asah – silih asuh – silih asih – silih pikaheman. Syari’at adalah bahan baku untuk membangun surga tidak hanya di akhirat, tetapi juga di dunia.

Serat Wedhatama adalah kritik terhadap ideologi verbalisme. Kritik untuk kata-kata yang diobral untuk “kebenaran”, untuk “keyakinan”. Kritik untuk takfirisme, untuk mereka yang gampang menuduh musyrik, laknat, kafir. Jauh di awal abad 20, penulis Wedhatama menasihati anak muda untuk tak ikut-ikutan “bising”. Sebab, bunyi nyaring memang sering menunjukkan kosongnya sebuah tong.

Ya Allah, bukankah nasihat Wedhatama terasa ditujukan juga buat zaman kita? Kita pun mengusap dada, ternyata idologi itu tak mati-mati. Bahkan lebih gila. Teorisme pun marak dimana-mana. Sampai peloksok desa. Hemat saya, awalnya terosisme lahir dari ideologi verbalisme. Ideologi yang hampa, hambar, dalam bahasa Wedhatama, sepi asepa lir sepah samun, seperti sepah yang habis dikunyah. Yang melihat “kebenaran” sebagai aksara, sebagai teks. Tuhan meraka dalah “teks”. Tuhan mereka adalah “bayang-bayang tuhan di benak mereka”. Mereka menuhankan pikiran mereka tentang tuhan. Padahal, menurut saya, pikiran itu nisbi, jelas tak bisa mutlak.

Kapan ideologi begitu akan mati? Sukar untuk kita jawab, sebab manusia dikungkung oleh kelaziman, dan ideologi adalah salah satu kelaziman itu. Lazim pada manusia, terpesona oleh aksara, terpesona oleh jubah putih, terpesona teriakan suci allâhu akbar. Lazim pada manusia, ketika orang lain berbeda dengannya, orang lain dipandang “penyeleweng”. Ia pun memberi sangsi. Dalil-dalil ditulis dan dibuat untuk menyerang. Ia pun mengajarkan dan mengutuk. “Luhur asor kudu unggul,” kata Wedhatama, “sumengah sesongaran”. Dengan kata lain: tak mau kalah, harus unggul, pongah, dan penuh bual. Itulah verbalisme.

Lamat-lamat, ideologi itu, bisa berperan seperti sihir dengan daya ajaib. Anak-anak muda pun diiming-imingi jadi “pengantin”. Maka, tak beda dengan pengawal komunisme, mereka bisa menghapal teks ajaran Mao Zhedong dengan pasih dan siap mati demi ideologi. Vice versa!

Kita akhiri esai ini. “Aja kaya zaman mungkin. Ke pramudha mundhi dhiri lapel makna. Durung becus kesusu kaselak becus. Amaknani lapal kayak sayid weton Mesir. Pendhak-pendhak angendhak gunanining janma. (Jangan sampai seperti masa yang akan datang, banyak pemuda menyombongkan diri, hanya sekedar secuil ayat yang diketahuinya. Belum layak sudak berlagak ingin menerangkan makna ayat, yang gayanya seperti sayyid dari Mesir. Serta sering meremehkan kepandaian orang lain).”

Allâhuma nastaghfiru ilaika…[ ]

Dimuat di Marginalia 1: Esai-Esai Pondok Pesantren.

Facebook
WhatsApp
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Newsletter

Latest Post