Oleh: Fauz Noor
Seseorang datang ke rumah si Bedus. Ia bercerita bahwa ia sudah agak kurang suka datang ke pengajian-pengajian di masjid. Menurutnya, pengajian di masjid monoton, pembahasannya, dalam bahasanya, gangarateun (dalam bahasa Indonesianya, duka nanahaon ieu, hehe). Ia pun menyodorkan masalah-masalah pelik yang kayaknya akan memerlukan berpuluh-puluh sks jika ukurannya adalah perkuliahan di kampus (he he). Pertanyaannya seputar ‘Ilm Kalam. Sedikit cuplikannya akan saya tulis.
Ia bertanya, “Kenapa banyak orang yang mencaci Muktazilah?”
“Saya tak termasuk mereka.”
Ia sedikit kaget. “Jadi anda sepakat dengan Muktazillah?”
“Dalam permasalahan tertentu saya sepakat, sebagaimana dalam masalah tertentu juga saya menolak Asy’ariah dan Maturidiah.”
“Kalau madzhab Salafinya Ibn Taimiyyah?”
“Banyak ruang kosong dari pemikiran Ibn Taimiyah yang bisa kita ajukan kritik, dan banyak pula yang bisa kita terima.”
“Jadi anda madzhab apa?”
“Madzhab Nahdlatul Ulama. Madzhab pesantren,” ujar si Bedus dengan tertawa.
Logikanya sederhana saja, pemikiran manusia tak akan mencapai sempurna, karena manusia selalu terisi nisbi, punya ruang kesementaraan dan kekurangan. Semua madzhab dalam Islam, pasti mempunyai plus dan minus, dalam karena itu pula pemikiran manusia (pemikiran Islam) akan selalu berkembang. Saling kritik, saling dukung, terus menyambung dari semenjak Rasulullah Saw. wafat sampai kiamat tiba.
Ia nampaknya, sangat penasaran dengan madzhab Muktazilah. Saya coba paparkan sedikit bahwa dalam Thabaqat Muktazilah (Peringkat Ulama-Ulama Muktazilah), mu’tazillah mempunyai sepuluh atau duabelas thabaqat.
“Apa itu Thabaqat?”
“Peringkat Ulama-Ulama. Dalam sejarah ilmu dikenal Thabaqat Muktazilah, Thabaqat Asy’ariyah, dan lain sebagainya.”
Ia terdiam.
“Menurut Thabaqat Muktazillah, lapisan pertama ulama Mutazillah terdiri dari empat khalifah besar, lalu Abdullah ibn ‘Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah ibn Umar, Abi al-Darda’, Abu Dzarr al-Ghifari, dan ‘Ubadah Ibn as-Shamit. Lapisan kedua diisi oleh Hasan dan Husein, seluruh Imam lainnya dalam jajaran Ahlul Bait, ditambah beberapa orang Ta’biin besar semisal Sa’id al-Musayyab, Thawus al-Yamani, Abi al-Aswad al-Du’ali, dan yang lainnya. Para penyusun thabaqat menempatkan tokoh-tokoh tersebut beserta segala argumennya yang sejalan dengan faham Muktazillah. Abu Bakar, misalnya, dimasukan dalam lapisan Mu’tazillah karena keputusannya tentang warisan seorang wanita kalalah. Ketika ditanya tentang dasar keputusannya, Abu Bakar menjawab bahwa keputusannya itu didasarkan pada ijtihadnya sendiri, tak bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah. Sedangkan al-Hasan dan al-Husein dimasukan dalam lapisan kedua karena mereka berdua ini adalah para pembela keadilan (ahlu al-‘adl), yang menjadi satu pokok faham Muktazillah.” (Jika penasaran bisa dilihat pada karya, Ibn al-Murthadha, al-Munyah wa al-‘Amal: Fi Syarh al-Milal wa al-Nihal, hlm. 125 dst).
“Bagaimana bisa Sayyidia Abu Bakar dan Sayyidina Umar bisa bermadzhab Mukatizalah.”
“Yaaaa, menurut orang Muktazillah mah begitu.”
Ia yang seorang sarjana Teknik itu terdiam.
“Begini atuh, tak semua pertanyaan mesti bisa dijawab, sebagaimana banyak sekali pertanyaan dalam benak saya tentang teknologi yang tak mampu saya jawab. Urusan Ilmu agama, terlalu instan jika anda pelajari hanya lewat cenel youtube atau medsos.”
Kejadian model begini, saya membayangkan, bagaimana repotnya benak al-Ghazali ketika menulis buku Iljam al-Aw’am ‘an Ilm al-Kalam (Membungkam Orang Awam tentang Ilmu Kalam). Al-Ghazali sampai pada satu titik di mana urusan aqidah itu yang praktis-praktis saja, tak usah banyak bertanya yang abstrak-abstrak. Konon, buku ini adalah karya terakhir al-Ghazali. Ini menandakan, bagaimana begitu sayangnya beliau kepada orang awam.
Yang pasti, ada prilaku yang tak baik yang jangan kita ikuti dari siapa pun mereka, yaitu mudah mengkafirkan madzhab orang lain. Kita sangat mengagumi al-Ghazali, tetapi ketika ia mengkafirkan para filsuf dalam Tahafut al-Falasifah, dengan tidak terpaksa kita mengajukan banyak kritik kepadanya. Kita pun sangat hormat kepada Ibnu Sholah yang menuduh ibn Sina bukanlah seorang ulama, melainkan setan dalam wujud manusia. Sekali waktu Ibnu Shalah ditanya tentang hukum syara’ bagi orang yang mempelajari pemikiran Ibnu Sina dan kitab-kitab lainnya yang semisal itu. Dia menjawab, “Barangsiapa yang melakukan itu maka ia telah meninggalkan agamanya dan menjerumuskan diri kedalam fithnah yang amat besar. Sebab, Ibnu Sina bukanlah seorang ulama melainkan setan dalam bentuk manusia (syayathin al-ins).” (Lihat Taufiq al-Thawil, Qishshat al-Niza Bayn al-Din wa al-Falsafah, hlm. 123). Lalu, dengan lantang ia berkata bahwa barang siapa yang mempelajari manthiq (logika) maka dia telah menjadi Zindik (man tamanthaqa faqad tazandaqa). Tidak! Kita akan menjauh dari laku begitu, mudah mengkafirkan orang lain.
Obrolan sampai berjam-jam, dua gelas kopi pun ledis, dan ia menutup perkataan dengan, “Yaaaa sudah, saya ikut bedusiah saja.” Dan kami tertawa bersama. ()
Diambil dari status Face Book: Fauz Noor.