Oleh: Fauz Noor
Dalam fisika klasik, sesuatu bergerak dihasilkan jika kepadanya terjadi gaya yang melebih batas kembamannya. Kita mendorong dinding, dan jika gaya yang kita keluarkan tak melebihi batas kelembaman dinding maka ia tak akan bergerak sekalipun keringat darah kita bercucuran.
Teori ini lalu masuk ke psikologi, bahwa manusia akan bergerak ketika mentalnya sudah dibebani atau terbebani hal yang melebihi kesiapannya. “Aku marah karena sudah tak kuat oleh beban yang menimpa. Aku bekerja karena himpitan keluarga sudah sumpek. Aku solat karena malu oleh masyarakat, dan pelbagai contoh lainnya.”
Teori gerak di atas adalah teorinya Sir Isac Newton. Teori buhun. Teori zaman tai kotok dileubuan. Newton lupa, ujar Einsten, bahwa dalam satuan terkecil alam semesta “semua bergerak”. Pante rai, semua mengalir. Diam adalah kamuflase, adalah khayal.
Jika semua bergerak, lantas “apa atau siapa” yang menggerakan. Jawab Socrates, penggerak utama dari manusia adalah tymos atau spirite atau ruh atau himmah. Manusia pasti bergerak, tinggal memilih menuju dua pilihan: baik atau buruk.
Dua pilihan! Ya, dua pilihan. Jika dual, maka pasti ada kondisi keseimbangan. Ini yang penting, wasyathiah, moderasi, moderat. Dan bagaimana mungkin terwujud “keseimbangan” jika kita tak mengayuh terus bersama fokus ke tujuan. Mesti bergerak dalam kesadaran diri, realitas dan transenden.
“Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving (Hidup itu seperti bersepeda. Kalau kamu ingin menjaga keseimbanganmu, kamu harus terus bergerak maju),” ujar Jenius Abad 20.
PKD III, PMII Kota Tasikmalaya.
Fauz Noor Zaman