Oleh Fauz Noor

Ruh dari negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu sebabnya, “suara Tuhan” adalah utama. Suara Tuhan, dari agama apa pun, yang bisa memberikan kesejahteraan dan kemakumuran bagi rakyat, sesuai amanat UUD 1945, mesti kita dukung. Nah, disinilah maksud apa yang sering dikatakan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menjadikan Islam sebagai inspirasi bukan sebagai aspirasi.

Islam bukanlah sebatas ‘aqidah dan ‘ubudiah saja. Islam bukan satu agama yang melulu bicara bagaimana cara berhubungan dengan Tuhan semata. Islam juga satu konsep budaya, satu konsep politik, satu konsep untuk membangun peradaban, membangun manusia yang sadar etika, yang sadar akan tugas penghambaan dan kekhalifahnnya. Itu sebabnya, jelas Islam punya konsep tentang tanah, tentang bumi yang dipijak, supaya memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan yang merata bagi segenap jiwa, sesuai amanah pasal 33 UUD 1945.

Menurut Islam, “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nur: 42). Di ayat lain, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57] : 2). Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah. Kemudian, Tuhan memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik-Nya, “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Tuhan telah menjadikan kalian menguasainya.” (QS Al-Hadid [57] : 7).

Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah Swt.” (Tafsir Qurthubi, juz 1, hlm 130). Persoalannya adalah, sudahkan kita menggunakan aturan main pengelolaan sesuai dengan yang diridhoi Tuhan?

Dalam hadits Rasulullah Saw. terbaca “barangsiapa yang menghidupkan tanah yang mati maka dia berhak memiliki tanah tersebut.” Kemudian, jumhur ulama sepakat, bahwa hak kepemilikian itu harus disahkan oleh Raja atau Negara. Kenapa harus disahkan Raja atau Negara? Karena, Raja atau Negera dhilullah fil-ardh, “bayang-bayang Tuhan di muka bumi”. Maka lahirlah sertifikat kepemilikan tanah. Inilah alur logika kepemilikan dalam Islam.

Karena pemilik hakiki tanah adalah Tuhan maka sudah pasti tanah haruslah memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi orang banyak. Satu riwayat sampai kepada kita. Seorang sahabat Rasulull, Bilal bin al-Harits al-Muzni, mempunyai tanah yang luas, tanah yang ia dapat dari rampasan perang (ghanimah) sewaktu zaman Nabi. Pada masa kekhalifahan Umar, tanah milik Bilal ibn Harits banyak yang terlantar. Bilal ibn al-Harits tak mengolah tanahnya. Maka Umar, sebagai bayang-bayang Tuhan di bumi, mencabut hak kepemilikan Bilal. Terang saja Bilal protes. Dan jawab Umar, “Orang yang membuat batas pada tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan.” Apa yang menjadi “kebijakan” Umar ini disetujuan oleh para sahabat, dalam fiqih posisinya adalah ijma’ shohabah. Dan Bilal pun lega dada, sadar bahwa ia tak mengolah tanahnya, ia takut d pengadilan akhirat nanti jika ditanya “kenapa memubadzirkan amanah Tuhan”. (Lihat, an-Nawawi al-Andalusi, Syarah al-Muhadzdzab, juz 1, hlm. 230; an-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 139; dan banyak kitab lainnya).

Dalam Fiqih Islam, hak kepemilikan tanah adalah tiga tahun. Jika tanah tak terolah seelama tiga tahun, maka Negara harus mencabut hak kepemilikan, lalu tanah itu “diberikan” kepada mereka yang akan mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut. Tapi, ini adalah ijtihad Umar yang disepakati para sahabat Nabi. Hanya ijtihad, dan jelas bukan “suara Tuhan” yang mutlak. Artinya, batas kepemilikan tidak harus tiga tahun, bisa maju bisa juga mundur.

Nah, mari kita tengok kanan dan kiri, bukankah di sekitar kita (Kota Tasikmalaya) banyak sekali “tanah yang mati”. Tanah milik Tuan Polan, Enkoh Palan, Haji Pilan, dan yang lainnya yang “tak dimanfaatkan” oleh mereka, bahkan sudah puluhan tahun. Tanah mereka “mati”. Mereka zholim terhadap tanah. Negara atau dalam hal ini Wali Kota diam saja, memubadzirkan amanah Tuhan. Bukankah, innal mubadzira kana ikhwani as-syayatin, orang yang memubadzirkan amanah Tuhan adalah temannya setan?

Nah, menjelang PILKADA Kota Tasikmalaya, nampaknya akan luar biasa, jika kita mendengar calon Wali Kota yang “berani” menawarkan program “batas kepemilikan tanah”. Sungguh, ini akan revolusioner! Ingat, sumber masalah kita selama ini adalah masalah distribusi kekayaan alam yang tidak-adil! Alam kita kaya-raya, tapi yang terjadi seperti lagu Rhoma Irama, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”

Lima tahun kebelakang, saya termasuk orang yang menjadi penelis dalam debat kandidat, dan apa yang kita dengar para calon adalah “begitu-begitu” saja, tak nampak perbedaan program kerja yang jelas antar calon. Lima tahun kemarin, kita memilh tokoh bukan pokok. Memilih “tubuh” bukan “jiwa”. Mengerikan! Semoga calon-calon di 2017, adalah mereka yang sadar akan tugas dan fungsinya, yang punya spirite dan program yang jelas, bukan hanya yang ingin nampang dengan kekuatan nama besar keluarga dan finansial semata.

Kota Tasikmalaya adalah kota santri. Spirite santri adalah syari’ah. Hemat saya, inilah yang menjadi spirite syari’ah Islam, kekuatan logika dalam usaha membangun keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat. Alangkah malang jika syari’ah hanya dimaknai dengan “jilbaber”, “maghrib mengaji”, “pesantren masuk sekolah”, and so on. Sudahlah, rakyat bosen dengan program-program Islam sensual seperti itu. Rakyat butuh sesuatu yang lebih subtansial! []

Facebook
WhatsApp
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Newsletter

Latest Post