Omar Kayyam
Oleh Fauz Noor

Berapa jumlah hari satu tahun? Inilah jawabannya: 365,24219858156 hari. Jawaban ini diberikan Omar Kayyam di tahun 1073 M, ketika penguasa Kota Isfahan mengundangnya berserta beberapa ilmuan untuk mendiskusikan ukuran waktu. Dan semua “sujud”, jawaban Kayyam lah yang paling teliti dan akurat. Lalu, kita pun tahu, dari perhitungan Kayyam, maka pada maret tahun 1079 M, Sultan Jalaluddin Malikisyah Saljuqi memberlakukan kalender yang telah diperbaiki Kayyam.

Dialah Omar Kayyam, seorang Astronom. Bukan hanya itu, ia pun dikenal sebagai penemu persamaan kubik, dengan cara memotong sebuah parabola dengan sebuah lingkaran. Sebuah rumus yang ketika saya kuliah di UPI Bandung jurusan Fisika dahulu, begitu sangat kerepotan, sampai akhirnya terpesona. Satu rumus yang canggih dan cerdas. Omar Kayyam matematikawan sejati.

Satu yang menarik. Omar Kayyam tidak begitu akrab dengan kaum agamawan. Para pejabat keagamaan kala itu berulang kali meminta Kayyam untuk menjelaskan pandangan-pangdangannya tentang agama. Dan, Kayyam menolak datang. Bukan hanya itu, ia juga menolak bicara. Khalayak ramai tahunya, Kayyam adalah orang yang menolak pemahaman bahwa setiap kejadian adalah akibat campur tangan Ilahi. Sebaliknya, ia mendukung pandangan bahwa hukum-hukum alam menjelaskan semua fenomena dari kehidupan yang teramati. Benarkah? Tak jelas, karena Kayyam hanya “diam”. Dan, tiga tahun menjelang wafat, Omar Kayyam dengan sepi pergi ke tanah suci untuk haji.

Yang jelas, masa Kayyam hidup adalah masa ketika para ahli-fiqih merajai paham agama. Beberapa tahun selepas Kayyam wafat dengan tenang, kita tahu, Einolqozat Hamadani dihukum bakar sampai mati. Tak lama kemudian, Mansur al-Halajj disalibkan, dan kemudian Syihabbudin Shuhrawardi dibunuh. Para filosof dan sufi, jadi korban paham agama yang picik dan sempit.

Karena itu pula, kita dewasa ini tak bisa membaca karya Kayyam secara utuh, baik dalam astronomi ataupun matematika. Karya-karya Kayyam hangus karena kebiadaban politik. Kita bersyukur, karya Kayyam ada yang selamat, hanya saja berupa 4000 bait puisi. Karya ini berhasil diselamatkan oleh para sufi. Di karyanya ini, The Rubáiyát of Omar Khayyám (saya membacanya dalam terjemahan bahasa Ingris), ia menulis, “Kita adalah korban dari suatu zaman ketika para ahli ilmu dijatuhkan namanya…”

Kayyam, seorang ahli ilmu, mungkin mengalami sesuatu yang pahit. Dan karena itu ia memilih diam. Bahkan ia menolak disebut ahli filsafat. Dengan cara yang khas ia mengelak dalam The Rubáiyát, “Sejak aku tiba di lembah air mata ini, bahkan tak bisa aku katakan siapa diriku ini.”

Ali Dashti, seorang penelaah kesustraan klasik Persia, menafsirkan “lembah air mata” dalam puisi Kayyam dengan “kehidupan dimana para ahli agama pukau oleh dunia, rakus akan jabatan, sampai rela menjilat-jilat pantat penguasa. Kehidupan dimana ayat-ayat suci pun sampai dijual-belikan. Kehidupan dimana ahli agama sudah kehilangan hargi diri.”

“Kita,” seperti saya tulis di Tapak Sabda, “tak perlu marah kepada masalah sebuah masa yang lampau, yang mungkin punya masalah tersendiri dan mencoba diselesaikan dengan cara tersendiri pula.” Al-Quran mengajarkan sebuah doa, “Wahai Tuhan, ampunilah dosa-dosa kami, juga dosa-dosa orang beriman di masa lalu.”

Namun tentu saja kita tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa kita semua hidup di zaman yang berbeda: melihat dengan ngeri keacuhan terhadap suara moral dan ketidakpedulian terhadap “jual-beli” ayat suci.

Banyak di sekitar kita, orang-orang bahkan konon ulama yang mencoba menyembunyikan keresahan dan pergolakannya sendiri. Mereka nampak “tenang” di tengah kemungkaran yang “di depan mata”. Mereka nampak “tenang” sementara al-Quran sedang dilecehkan dalam MTQ. Duh, sebuah dunia yang menyembunyikan keresahan dan pergolakannya sendiri, adalah dunia yang pura-pura dan rapuh. Kita pun bisa berkata, sambil mengutuip buku Blood and The Cross-nya Syekh Ahmad Tomson (sebuah buku tentang sebab-sebab kehancuran Islam di Eropa), “Itulah awal-mula kehancuran Islam di Eropa. Keacuhan terhadap suara moral dan ketidakpedulian akan kalam Ilahi.”

Seperti Kayyam, di tengah kehidupan yang rapuh ini, di tengah para agamawan yang tak berdaya oleh gempuran kekuatan politk, di tengah ayat-ayat suci sudah jadi “mainan”, masih banyak para Kiai kita di pojok-pojok sepi, di pesantren-prentren terpecil nun jauh disana, yang hanya bisa mendendangkan satu syair Rubáiyát, “Hatiku penuh dengan kata-kata, karena itu tak ku ucapkan sepatah kata pun.” [ ]

13 April 2016

Diambil dari buku Marginalia 1: Kumpulan Esai dari Pojok Pesantren

Facebook
WhatsApp
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Newsletter

Latest Post