NAMPAKNYA Natal bukan kesibukan Kristen saja. Sebelum umat Kristiani pergi ke misa pada tanggal 25 Desember, banyak orang nampak ikut “merayakan”. Toko, mall, hotel, berhias Santa Claus, bahkan sampai menunggang kereta lengkap dengan salju dan kereta luncur. Di negri tropis ini, banyak yang bermimpi tentang Kermis putih, seperti Bing Corby dan Loretta Lynn. Begitu pun selepas Natal, perayaan seolah bersambung dengan Tahun Baru. Perayaan nampaknya suka mempersatukan.
Natal memang suka cita. Satu momen kegembiraan. Karena itu, semua orang nampaknya ingin ditulari natal. Natal pun, seperti hari raya agama-agama lain, dikomersilkan. Iklan-iklan dan ucapan selamat pun telah melebihi batas calon konsumennya. Agama tak kedap dari kapitalisme ternyata.
Kita pun tahu bahwa kapitalisme selalu punya alasan yang bagus. Natal dirayakan karena manusia mengharap ketentraman, atau dalam bahasa Islam, keberkahan. Manusia harus bisa mengambil banyak manfaat dari Natal, siapa pun itu, se-centi kesempatan menuju itu haruslah dibuat. Terciptalah social engenering.
Sejarawan Prancis, Philiphe Aries, berkata bahwa “pemujaan” kepada Natal adalah produk budaya di akhir pada Zaman Tengah Eropa. Sebelumnya, hari suci utama adalah Paskah, sesuai dengan Teologi Kristiani yang percaya bahwa peristiwa Kristus menjadi Tuhan adalah kejadian yang lebih besar ketimbang kedatangannya ke planet bumi. Baru di awal abad 19-lah Natal menjadi hari penting yang perayaannya melebihi Paskah. Barangkali, ada motivasi yang kuat tentang keluarga, sehingga Natal menjadi begitu meriah. Kelahiran sang Anak. Oleh karena itu dalam Natal selalu ada simbolisasi Santa Claus yang kerap memberikan “permen” sebagai “hadiah Natal”. “Anak adalah hal terpenting dalam kehidupan sehari-hari,” demikian ujar Aries, “Dari sinilah Natal menjadi hal terpenting dalam Kristiani.”
Jika kita perlebar pemaknaan “kelahiran sang Anak”, tidakkah kita berpikir sejenak bahwa kumpulan anak di luar sana, barangkali tak jauh dari rumah kita, yang kedinginan, terlepas dari ayah-ibu dan mesti berjualan korek-api atau bernyanyi dengan musik dari tutup botol, sambil membayangkan sepotong kue dan seserpih daging ayam. Jika Natal adalah momen kelahiran sang Anak, seharusnya dimaknai sebagaimana Ibu Theresa menyusap kepala anak-anak miskin di Kalkuta, menemani lukanya, menolong harapannya, mendengar keluhannya, menyembuhkan penyakitnya, mengehentikan laparnya.
Tahulah kita sekarang, sekalipun hari raya agama sudah ditumpangi kapitalisme, selalu saja ada ruang di mana kita bisa menangkap hikmah. Agama terlalu sakral jika berhenti di pesta pora. Agama terlalu dangkal jika hanya nyanyian, teriakan, slogan, monolog atau dialog basa-basi. Agama adalah jalan menuju kemanusiaan. Agama-lah yang semestinya menyadarkan bahwa kita hidup tak sendiri, bahwa kita menolak sendiri, bahwa kita sepi jika sendiri.
Sekali lagi, agama adalah jalan meraih kemanusiaan. Maka agama seharusnya mempererat kemanusiaan yang koyak. Ajaran inilah yang menggerakkan agama-agama selain Kristen ini memberikan penghormatan kepada Natal. Mereka memberi ucapan Selamat Natal kepada sahabat atau saudara sebangsa yang merayakannya. Hemat penulis, ucapan demikian janganlah dilihat sebagai sesuatu yang sifatnya teologis. Ucapan selamat Natal seorang Muslim kepada kaum Kristiani, misalnya, hanyalah peristiwa sosiologis, tak lebih. Seseorang tak pantas menghukumi bahwa “ucapan selamat Natal” itu adalah bukti pengakuan akan ajaran Kristen, lahirlah fatwa haram. Sunggu mengerikan, satu ujaran demi memperkukuh ukhuwah insaniyyah diseret ke wilayah aqidah, yang kita sudah paham, aqidah adalah “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.
Namun, kita pun paham, jika saudara kita “waswas” dengan ujaran “selamat Natal”, sebaiknya memang jangan diujarkan. Jika ujaran itu membahayakan aqidah. Bagi penulis, insya Allah, hal demikian tidaklah membuat waswas bagi aqidah penulis. Bagi penulis, Islam adalah segala-galanya, berharap terbawa sampai mati. Bagi mereka yang tidak waswas, mari ucapkan untuk saudara umat Kristiani, “Selamat Natal bagi mereka yang merayakannya. Semoga Natal memberikan keberkahan bagi kita semua.” [ ]
diambil dari buku Marginalia 1: Esai-Esai dari Pojok Pesantren.