Tak seorang pun tak mengakui keluasan ilmunya. Semenjak kecil ia sudah belajar dan menjadi hafidzul-quran. Ia pun wafat dengan meninggalkan banyak karya. Tak kurang dari 300 buku dengan ketebalan beragam, telah ia wariskan bagi dunia ilmu pengetahuan. (Lihat, Tahdzir al-Khawash min Akadzib al-Qushshah, 41). Ia mempunyai nama lengkapnya Jalaluddin Abu Fadlal Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad as-Suyuthi.

Dalam usia yang sangat muda, ia telah kakoncara sebagai seorang ‘Alim, seorang ahli ilmu. Atas desakan banyak orang, pada usia 32 tahun, ia meneruskan Tafsir al-Quran yang telah disusun Jalaluddin al-Mahilli. Dalam waktu 40 hari saja, ia selesaikan tafsir al-Baqarah sampai al-Isra’. Itu sebab, kelak tafsir ini dikenal dengan Tafsir Jalalain (Tafsir Dua Jalal), yang sangat akrab dengan dunia santri.

Karena begitu cerdas, ia menjadi sangat percaya diri. Bagi sebahagian orang, mungkin terkesan sombong. Ia menulis,

الّذي أعتقده أن الّذي وصلت اليه من هٰذه العلو م السبعة لم يصل اليه ولاوقف عليه احد من أشياخي فضلا عمن هو دونهم

Yang aku yakini ialah bahwa apa yang aku capai dari ketujuh cabang ilmu tidak pernah dicapai oleh seorang pun dari guru-guruku, apalagi oleh mereka yang ada di bawah mereka (lihat karyanya sendiri, at-Tahdir, 32).

Bahkan ia pun menulis, dengan nada malu-malu, di kitab Risalah at-Tanbihah fi man Yab’ats Allahu ‘ala Ra’si al-Miah, “Sesungguhnya aku berharap dari nikmat dan anugerah Allah, sebagaimana al-Ghazali berharap untuk dirinya sendiri, aku menjadi pembaharu (mujadid) yang diutus Allah pada abad ke-9 ini. Hal ini karena aku telah menyendiri di abad ini untuk memperdalam berbagai ilmu. Tidak ada seorang pun yang menyamaiku dalam semua yang telah aku sebut.”

Mau sehebat apapun manusia, ia tetap manusia, punya ruang nisbi, punya wilayah keterbatasan. Dalam beberapa karya as-Suyuthi, kita mendapatkan beberapa pemikiran ”aneh”, bahkan menggelikan. Sebut saja sebagai contoh, dalam Tafsir Jalalain, kala ia menafsirkan ayat 19 surah al-Baqarah.

(ورعد) هوالملك الموكل به وقيل صوته (البرق) لمعان صوته الّذى يزجره به

(Dan geledek) adalah malaikat yang ditugaskan pada awan. Konon geledek (juga) adalah suara malaikat. (Sementara kilat) kilatan suaranya yang dengan itu membentuk awan.

Bagi siapapun, apalagi yang belajar fisika, penafsiran as-Suyuthi ini menggelikan. Dengan tanpa terpaksa, sekalipun ia ulama dengan ratusan karya, apalagi kepada ‘alim atau profesor dengan karya hanya secuil, seorang santri tak boleh kehilangan daya kritis. Kepada hal yang jauh dari kemestian, mesti menolak.

Lebih dari segala, saya selalu ingat pesan guruku KH. Ii Abdul Basith Wahab, kala saya kelas 3 Madrasah Tsanawiyah, “Pendidikan yang sukses adalah pendidikan yang berhasil menanamkan mentalitas mencari kepada para santri.”

Selamat Hari Santri Nasional

Artikel diambil dari status FB Fauz Noor

Facebook
WhatsApp
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Newsletter

Latest Post