Oleh: Fauz Noor (Santri Sukahideng 1992-1998)
Pada tahun 1934, dilaksanakan acara Silaturrahim Para Ulama Tasikmalaya di Pesantren Sukahideng. Acara ini agak “special” karena silaturrahim benar-benar silaturrahim dan bukan sekedar seremonial seperti banyak kita saksikan dewasa ini. Acara tersebut “menyambungkan kasih sayang” yang agak renggang antara para ulama yang tergabung di Persatuan Guru Ngaji (PGN) dan Nahdlatul-Ulama (NU). Berkumpullah di sana KH. Ahmad Suja’i, KH. Abdul Madjid Aonuddin, KH. Muhammad Fakhruddin, KH. Fadhil, Raden Sutisna Senjaya, dan yang lainnya. Kita sebut acara ini “special” karena pada tahun 1930-an terjadi perdebatan serius antara para ulama di PGN dan NU, seperti bisa kita baca dalam Majalah al-Imtisal dan al-Mawa’idz.
Dari acara tersebut, mungkin kita bisa ambil hikmah di baliknya. Pertama, KH. Zainal Muhsin, pendiri podok pesantren Sukahideng, adalah tokoh yang gandrum ukhuwah. Ia pun menjadi tokoh yang dihormati baik oleh para ulama, wabil-khusus mereka yang tergabung di PGN dan Nahdltul Ulama. Kedua, KH. Zainal Muhsin adalah tokoh yang inklusif, berpikir terbuka, tidak terjebak dalam pemikiran sempit satu golongan. Ketiga, mentalitas inklusif, hanya akan dimiliki oleh mereka yang himmah-nya bersih, jauh dari hubbud-dunya, dan bewawasan luas.
Ada yang menarik. KH. Zainal Muhsin, baik dalam dokumen PGN ataupun PCNU Tasikmalaya, tak tercatat sebagai pengurus. Kita barangkali bisa memberikan tafsir, bahwa beliau adalah tokoh yang menjaga jarak terhadap apa pun yang bisa menyulut pertengkaran. Ketokohan beliau, yang biasa dipanggil oleh KH. Abdul-Madjid Aonuddin (Agan Aon) dan KH. Ahmad Syuja’i (Mama Kudang) dengan sebutan “sayyid”, benar-benar ia dermakan untuk umat, wabil-khusus untuk pesantren yang sangat dicintainya, pesantren yang didirikan dan diasuhnya dengan sepenuh hati dan sepenuh ketulusan diri: Pesantren Sukahideng.
Sebutan “sayyid” sudah tentu bisa dipakai untuk meraih atau merebut pernak-pernik dunia. Dalam catatan sejarah, tidak demikian bagi KH. Zainal Muhsin. Kehidupan beliau bersahaja bersama warga. Kesehariannya, demi menopang kehidupan keluarga, ia biasa ngalintar atau menangkap ikan di sungai Ciwulan. Jika kita boleh membayangkannya, ngalintar-nya KH. Zainal Muhsin, dalam bahasa KH. Ii Abdul Basith Wahab (cucu KH. Zainal Muhsin), “mungkin mirip dengan berburu dalam kisah Nabi Isma’il alaihissalam”. Dalam bahasa KH. Ii Abdul Basith Wahab, “Ngalintar-nya bukan pangeudulan tetapi benar-benar menjadi sumber kehidupan.”
KH. Wahab Muhsin, putra tertua KH. Zainal Muhsin, mengisahkan bahwa beliau kerap dibawa oleh ayahandanya untuk ngalintar. Dalam ngalitar, yang tak bisa hilang dari KH. Zainal Muhsin adalah dzikrullah. Kejadian apapun tak melenakannya dalam mengingat Allahu Ta’ala. Dan dalam ngalitar ini, sekaligus beliau banyak mengajarkan banyak amalam atau aurad kepada putra tertuanya. “Abah banyak menerima aurad darinya,” ujar KH. Wahab Muhsin kepada KH. Ii Abdul Basith.
Lazim bagi seorang hamba bertaqwa, yang kesadarannya terfokus kepada Allahu Ta’ala dan menjauh dari pikuk kepentingan dunia, mendapat anugerah karomah Allahu Ta’ala. Dari cerita tutur masyarakat, banyak kisah karomah KH. Zainal Muhsin. Satu saja barangkali kita cuplik di sini.
Satu ketika terjadi kebakaran di Pesantren Sukamanah. Api sudah membara, membumbung mengeluarkan asap tebal. Puluhan santri sibuk mengangkut air untuk memadamkan si jago merah. Dalam kondisi pahiwut dan mencekam, KH. Zainal Musthafa memerintahkan santrinya untuk memanggil KH. Zainal Muhsin. Tak lama kemudian, sesepuh pondok pesantren Sukahideng itu datang. Ia naik ke atap rumah. Ia melepas serbannya. Ia menggerak-gerakan serbannya, memadamkan api dalam jarak tertentu. Bi idznillah, tak lama kemudian api pun padam. Pesantren Sukamanah pun selamat, tak sampai hangus terbakar.
Demikianlah, sedikit pengantar untuk Halaqoh atau Talkshow dalam acara Milad Satu Abad Sukahideng. Panitia meminta tak lebih dari dua halaman. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena pasti banyak alumni – terutama para senior kami – yang lebih mumpuni.
Ila Ruhi KH. Zainal Muhsin, al-Faatihah. [ ]