oleh : Fauz Noor

Siapa pun yang pernah belajar Ilmu Kalam, pasti tahu kisah ini. Imam Malik ra ditanya dimana Allah berada, sang Imam menjawab, “Bertanya tentang ini adalah bid’ah.” Jelas ini satu jawaban yang “tidak menyenangkan”. Namun, saya bisa melaklumi kenapa jawaban Imam Malik demikian, mengingat kala itu dunia intelektual Islam berlum bersentuhan dengan “dunia luar”. Intelektualisme Islam kala itu masih berputar-putar sekitar konservasi ortodoksi yang diterima dengan – tanpa mesti terkesan negatif dan merendahkan – sikap pasif. Olah pikir kala itu sesuatu yang tabu dan merupakan bid’ah.

Kemudian, pada masa Dinasti Abasiah, tetapnya pada kekhalifahan al-Makmun, dunia intelektual Islam bersentuhan secara serius dengan keilmuan dari luar. Pada masa ini, berlangsung gerakan penerjemahan produk-produk intelektual Yunani, Persia dan India; juga dalam batas tertentu Cina. Yang pertama kali terimbasi, adalah ilmu kalam atau teologi, sebagaimana kita dapati dalam madzhab Mu’tazillah dan As’ariyyah pun yang lainnya, kemudian menyusul disiplin-disiplin tradisional seperti tasawuf, fiqih, ushul fiqih, tafsir, nahwu, sharaf, balaghah dan yang lainnya.

Dalam tasawuf, misalnya, ketika masa sebelum al-Makmun, hanya dikenal dengan zuhud atau asketisme, sebagaimana diajarkan al-Junaid. Ketika rasionalisme datang dan menghantam, tasawuf mulai “dikaji” dengan paripetetik Aristoteles. Jika semula kebaikan purna itu hanya sekedar laku pembersihan hati lewat latihan (riyadhah), maka pada tahap ini kebaikan purna justru terletak pada kegiatan kontemplasi-diskursif dengan disertai latihan-latihan (riyadlah) spiritual praktis. Inilah yang dalam tasawuf lalu dikenal dengan “teosofi-transendensi” atau hikmatul-muta’aliyah. Tentang kajian rasional dalam tasawuf, kita pun mengenal karya-karya mentereng, semisal: Fushus al-Hikam dan al-Futuhat al-Makiyyah karya Ibn Arabi, Hikmat al-Isyraqi karya Suhrawardi, al-Hikmah al-Muta’aliyyah fi al-Asfari al-Arba’ah karya Mulla Shadra, dan yang lainnya.

Dalam fiqih, gejala rasionalisme ini juga berimbas cukup kuat, terbukti dengan munculnya aliran “rasional” dalam madzhab Hanafi. Dalam Ushul-Fiqih, muncul aliran ushul-fiqih Syafi’iah yang sangat aristutolian, dengan tokoh-tokoh utamanya seperti al-Amidi, penulis buku al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, al-Haramain penulis buku al-Burhan, al-Ghazali dengan al-Musthasfa-nya, dan Fakhruddin ar-Razi penulis buku ushul-fiqih yang paling sistematis al-Mahshul fi al-Ilmi al-Ushuli. Begitu hebatnya buku ar-Razi ini, sehingga al-Baidlawi memberikan syarahnya dengan titel Minhaj al-Wushul ila ‘Ilm al-Ushul.

Tak ketinggalan, disiplin ilmu nahwu (sintaksis) dan sharaf (morfologi), imbas rasionalisme juga nampak begitu kuat. Kita bisa membaca tulisan-tulisan Abu Ali al-Farisy dan muridnya Ibn al-Jinny. Kedua tokoh ini, terutama al-Farisy, terkenal dengan usaha-usaha mereka untuk merasionalkan disiplin nahwu-sharaf dengan logika Aristoteles dan menjadi satu pegangan madzhab Basrah. Begitu hebatnya “kampanye” madzhab ini dalam dunia ilmu, sampai mengundang pemikir lain, sehingga kita mengenal madzhab tandingan yang disebut madzhab kuffah. Puncak penolakan rasionalisme terhadap pendekatan baku semasa sahabat Nabi, adalah apa yang dikembangkan oleh Ibnu Madha al-Andalusy yang mengikuti metode “deskriptivisme”, untuk melawan aliran standarisasi-rasional atau aliran washfiyyah. Tokoh ini telah menulis satu karya polemis dan sangat jarang dikenal di dunia pesantren, al-Radh ‘ala al-Nuhah (Kritik atas para Sintaksiolog).

Begitupun dalam ilmu Balaghah (semantik dan retorik), imbasan gelombang rasionalisme bisa kita baca dalam karya Abi Ya’kub al-Shakkay, Miftah al-‘Ulum. Gejala ini begitu kuat pengaruhnya sehingga memantik arus balik yang diprakarsai oleh pakar semantik kenamaan, Abdul Qohir al-Jurjani,yang menulis dua karya masterpice, Dalail al-I’jaz dan Asrar al-Balaghah.


Seperti dikutip sebagian di atas, gelombang rasionalisme ini memperoleh serangan balik dari beberapa ulama Islam Tradisonal. Embrio gerakan ini dimuali dari as-Syafi’i dengan metode istiqra’-nya. Lalu diteruskan al-Ghazali, Ibnu Rusyd sampai puncaknya di tangan Ibnu Taimiyah. Kritik-kritik yang muncul dalam masa yang sangat panjang itulah, dari mulai as-Syafi’i abad ke-2 H sampai Ibnu Taimiyah abad ke-8 H, akhirnya muncul paradigma baru dalam dunia intelektual Islam, yaitu empirisme (jauh sebelum Francis Bacon dengan Novanum Organum-nya yang jadi roh modernisme Barat).

Esai ini, jelas tak bermaksud merangkum intelektualisme Islam secara komplit. Esai ini hanya ingin berkata bahwa dunia intelektual Islam tidaklah sepi. Para ulama berdebat sehat, bahkan dengan media buku. Coba bayangkan, bahkan dalam satu paradigma pun mereka berbeda: salah satu contoh paling bagus tentang ini adalah al-Ghazali dengan Tahafut al-Falasifah-nya dan Ibnu Rusyd dengan Tahafut at-Tahafut-nya.

Yang mengerikan adalah sikap kita yang kembali kepada “masa” Malik Ibn Anas; skriptualisme dengan menutup diri dari dunia luar. Jika sikap ini diambil, maka kita membuang khazanah intelektual Islam yang dibangun dengan jutaan kitab dari tinta ulama, dan ini satu kerugian besar. Dan yang lebih mengerikan lagi, adalah sikap kita, terutama para tua, yang kerap mencurigai aktifitas berpikir anak-anak muda, lalu dituduh “liberal” atau “sekuler”. Oh Tuhan, benarkah kita hidup dimana aktifitas berpikir dianggap aneh dan berbahaya? Wallahu a‘lam[ ]

Diambil di buku Marginalia 2: Esai-Esai dari Pojok Pesantren

Facebook
WhatsApp
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Newsletter

Latest Post