papua

Diposting oleh:

Tiba-Tiba Muncul “PapuaLivesMatter”

oleh Fauz Noor

Di tengah pandemi Covid 19, demontrasi antri rasisme menyeruak di Amerika, selepas kematian George Floyd yang mengerikan. Social distancing tak dihiraukan. Kemarahan terhadap rasisme, seketika menghentikan ketakutan akan corona. Orang-orang turun ke jalan, bahkan di beberapa tempat sampai terjadi kerusuhan. Terus menyebar dan melebar. Tak hanya di Amerika, demontsrasi sampai ke Eropa dan Australia. Ini menunjukan, rasisme sudah begitu lama, terus terjadi dan seolah tak mau berhenti. Terlebih setelah Donald Trump menjadi Presiden, kasus rasisme terhadap kulih hitam semakin meningkat, seperti yang dicuplik Francis Fukumaya dalam bukunya Identity (2018). Kematian Floyd, barangkali menjadi puncak kemarahan, setelah pelbagai kejadian yang sama (kebrutalan polisi terhadap kulit hitam), dan dihubungkan dengan “ingatan” sejarah yang panjang tentang perbudakan dan hukuman mati tanpa pengadilan terhadap Afrika-Amerika. “Ingatan ini merupakan bagian dari jurang pemahaman antara orang kulit hitam dan kulit putih berdasarkan pengalaman hidup mereka,” tulis Fukuyama.   

Lepas dari demontrasi atas kematian Floyd yang mengagetkan, kita pun mengutuk keras rasisme, warga Indonesia dikejutkan oleh munculnya tagar Papua Lives Matter. Siapa pun pasti menduga, tagar ini memanfaatkan momen setelah viral tagar Black Lives Matter. Tak ada angin tak ada hujan, segelinitir orang mengangkat isu Papua kepada publik Indonesia, bahkan dunia, seolah-olah sedang terjadi rasisme di Papua. Mungkin karena yang bergolak dalam benak saudara kita itu adalah tentang “kulit hitam” semata. Kasus rasisme di Amerika tak sepenuhnya sama dengan yang terjadi di Papua. Atau barangkali, karena saudara kita itu sudah sangat american, sehingga apa yang muncul di Amerika adalah utama dan harus menjadi gerakan dunia?

Sekarang ini di Papua orang-orang sedang berjuang, sama dengan di banyak tempat, menyelamatkan warganya dari pandemi corona. Yang terjadi malah, pada Mei 2020 kemarin, dua orang petugas medis Covid-19 yang sedang berjuang mendampingi warga Papua melawan virus Corona, mati ditembak oleh KKSB (Kelompok Kriminal Sparatis Bersenjata), karena dianggap representasi dari pemerintah yang mereka benci. Ada yang ingin Papua tak tenang! 

Kita tak menutup mata, ketika berbicara tentang Papua, kita mempunyai “ingatan panjang” akan beberapa kasus, dari mulai rasisme sampai ketidakadilan. Yang terakhir adalah kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua yang sedang studi di Surabaya, dan menimbulkan unjuk rasa yang besar. Tetapi “ingatan panjang” kita pun diisi oleh usaha yang tak sepele yang telah dilakukan dalam menyelesaikan konflik di pulau yang sangat kaya sumber daya alamnya itu. Salah satu dari mereka adalah Presiden ke-4 kita, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketika ia menjabat Presiden, terkenal sekali ujarannya kepada DPR kala itu, ketika membahas RUU Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua, “Berikan apa saja yang mereka (warga Aceh dan Papua) tuntut, kecuali merdeka.” Gus Dur memberikan kebebasan penuh kepada warga Papua setelah dibelenggu puluhan tahun lamanya. Sayang beliau tak punya waktu lama, terlanjur dilengserkan secara keji sebelum keadilan benar-benar membumi di Papua.

Sampai detik ini kita masih mendengar orang-orang yang mati tertembak di Papua. Kita masih mendengar kelompok sparatis bersenjata di sana. Ini artinya kekerasan masih terjadi di tanah Papua. Ini artinya ada aspirasi warga Papua yang tidak di dengar oleh pemerintah Indonesia. Padahal, kita sudah punya UU Otonomi Khusus bagi warga Papua. Hanya sayang, ada sikap ambivalen dari pemerintah terhadap Undang-Undang yang disahkan tahun 2001 itu. Salah satunya tentang terbentuknya partai politik lokal. Padahal banyak ahli yang berpendapat bahwa terbentuknya partai politik lokal di sana akan menekan tindak kekerasan. “Dengan diperbolehkannya secara legal konsitusional pembentukan partai politik lokal di tanah papua, maka konflik berbau separatis akan berangsur pupus,” ujar Guru Besar Institute Pemerintahan Dalam Negri (IPDN), Djohermansyah Djohan. “Tidak terbentuknya partai lokal sebagaimana dijanjikan UU Otsus menunjukan ketidakseriusan,” tulis Ahmad Suaedy, Anggota Ombusman RI (Kompas, 4 Februari 2019).

Satu hal penting yang harus diperhatikan ketika berbicara tentang Papua. Ketika era Presiden Jokowi sekarang ini, ada lompatan besar yang dilakukan dalam pendekatan terhadap warga Papua. Yaitu dengan kesejahteraan, berjuang membumikan keadilan sosial. Harga BBM dibuat sama dengan di Jawa. Jalan tol dibangun berratus-ratus kilo meter. Insprastrukutur menjadi program utama. Ini semua, tidak menutup kemungkinan, menganggu “ketenangan” segelintir orang yang merasa sudah nyaman. Mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun, mungkin semenjak Orde Baru, menikmati “keuntungan” dengan harga BBM yang tinggi di Papua. Mereka yang sudah “nyaman” dengan kondisi Papua yang seperti dahulu. Mereka yang sudah kaya-raya dari kekuatan Orde Baru dan sekarang “kepentingannya” terganggu. Elit politik dan elit bisnis yang sudah lama diuntungkan oleh keberadaan Petral dan Freeport. Merekalah aktor di balik kerusuhan di Papua tahun 2019 kemarin. Dengan kekuatan kapital yang dimiliki, mereka tak ingin Papua damai. Mungkin saja, di belakang layar, mereka pula aktor yang menghalangi terbentuknya partai politik lokal di Papua, dan munculnya tagar Papua Lives Matter. Wallâhu a’lam, dan semoga kita tak mudah terprovokasi. [ ]

Bagikan:

Berikan Komentar