Oleh Fauz Noor
Kebaikan itu berevolusi. Kebaikan itu perlu adaptasi. Sesuatu yang di zaman dahulu belum dikenal sebagai kebaikan, pada saat ini bisa dipandang kebaikan.
Paragraf di atas adalah argumen logika tentang kebaikan, misalnya, dalam penyusunan al-Quran. Pada zaman Rasulullah Saw., “kebaikan” itu belum ditemukan, dan baru pada masa sahabat, tepatnya pada masa kekhalifahan Abu Bakar ra, “kebaikan” itu dibumikan dan diterusakan oleh Umar ibn Khathab ra, sampai dituntaskan pada masa Utsman ibn Affan ra. Logika ini pula yang mendasari “kebaikan” dalam peringatan ulang tahun Rasulullah Saw. Pada masa Rasullah Saw., para sahabatnya, para tabi’în, tak/belum dilakukan peringatan maulid Nabi Saw. Generasi selanjutnya menemukan kebaikan itu, dalam sampai detik sekarang menjadi tradisi baik di banyak kaum muslimin setiap bulan Rabi’ul Awal.
Argumennya, minimal bisa kita baca pada surat Yunus: 58. “Katakalah wahai Muhammad, ‘Atas karunia (fadhlu) Allah dan rahmat (rahmah)-nya, hendaklah dengan itu mereka bersuka-cita (fal-yafrahû). Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’” Bukankah kelahiran insan mulia Saw., adalah karunia dan rahmah? Dan jika kita farah maka itu lebih dari apa-apa yang kita kumpulkan.
Falyafrahû – maka bersukacitalah. Ayat ini memakai lafadz faraha-yafrahu, yang secara sederhana artinya “suka cita/bergembira”. Dalam bahasa Arab bergembira minimal dalam dua kata: sa’ada dan faraha. Jika sa’ada adalah kegembiraan dalam batin. Misal, seseroang melihat kaum Muslimin yang sedang membaca solawat, dalam hatinya ia sangat gembira, sangat senang, tetapi hanya dalam hati. Ini sa’ada. Kemudian, ia menampakan kegembiraannya dengan menginfakan harta yang ia miliki, berderma untuk orang-orang miskin, misalnya. Nah, inilah faraha, menampakan suka-cita yang bergejolak dalam hati.
Atas kelahiran Nabi Muhammad Saw., kaum Mukmin bersuka-cita, karena lahirnya insan suci merupakan karunia dan rahmat Allah Swt. Dan suka-cita itu tak hanya dalam hati, suka-cita itu lalu diekspresikan dalam bentuk “peringatan maulid Nabi Muhammad Saw”. Inilah makna ayat fabidzalika falyafrahû.
Allahumma shalli a’la Sayyidina wa Maulana wa Habibana Muhammad Saw. Wallahu a’lam.