SOLAT BERJAMAAH BERSAMA MALAIKAT

Oleh : Fauz Noor

Ini kisah nyata. Karena saya begitu sangat menghormati pemilik kisah ini, saya tak akan menyebut namanya.

Salah satu hobi pemilik kisah, adalah berburu, menembak dengan senapan angin. Satu waktu, ketika ia berburu di satu hutan, datanglah waktu asar. Karena begitu asyik, ia sedikit lupa kalau senja sudah berjanjak tua. Ia hentikan berburu, menuju pancuran, untuk wudhu. Dan ia dapati dua temannya sudah di sana.

“Kalian sudah solat?” tanyanya.

“Sudah,” jawab kedua temannya sambil berlalu ke satu tempat untuk rehat.

Sambil bergegas ngambil air wudhu, ia sedikit bingung. Wudhu pun selesai. Ia menuju gubuk. Ia menoleh dahulu ke kiri dan kanan. Tak temukan sepotong manusia pun. Ia salat qobla asar terlebih dahulu. “Sambil menunggu, moga saja ada orang nanti,” bisiknya dalam hati.

Selepas dua rakaat qobla, ia duduk bersila. Solat asar belum ia dirikan. Sesekali, kembali ia menoleh ke arah luar tajug atau gubuk di tengah hutan itu. Berharap seseorang datang.

Lima belas menit sudah ia lewati, dan solat asar masih belum dilaksanakan.

“Ya Rabb, bagaimana ini? Apa mesti saya solat sendiri (munfarid)?” hatinya berkata lirih dan sedih. “Sudah tujuh tahun, hamba-Mu ini berikrar, tak akan meninggalkan solat jamaah. Selama itu pula, hamba-Mu ini tak pernah tidak solat kecuali berjamaah. Apakah hari ini saya mesti menutus ikrar ini?” Hatinya penuh gemuruh. Tanya begitu sesak penuhi harap.

Ia terus duduk bersila. “Apakah ikrar itu bagi hamba-Mu ini satu kesombongan? Ampunilah hamba jika benar begitu, ya Rabb. Dengan kasih sayang-Mu ya Rabb, tolonglah hamba, Engkau adalah sebaik-baik Dzat Penolong, hamba ingin berjamaah, hamba tak ingin melepas ikrar yang telah hamba suarakan dan tepati tujuh tahun lamanya,” kembali hatinya berkata lirih.

Kurang lebih setengah jam kemudian, “Kang tos netepan (Kang, sudah solatkah)?” satu suara mengagetkannya. Ia tersentak. Refleks menoleh ke belakang, ke arah suara, sambil berkata, “Teu acan (belum).”

“Tunggu sebentar, Kang.”

Tak lama kemudian, orang asing itu, di wajah dan lengannya nampak basah oleh bekas air wudlu, masuk ke gubuk. Dan ia yang lama “menunggu” sungguh berbinar-binar wajahnya. “Silahkan kang, saya makmum,” ucap orang asing itu.

“Tidak. Akang Imam, saya belum pantas jadi Imam.”

“Sudah akang saja.”

Karena waktu asar khawatir tambah melesat ke senja kuning, ia yang tadi berdoa ingin berjamaah pun menjadi Imam. Bisa dibayangkan barangkali, sore itu, dua hamba solat jamaah asar begitu nikmat dan lezat. Menghadap-Nya, menemui Sang Maha Kasih, dengan ruku dan sujud, dengan sepoi angin lembut menelusuk, di tengah hutan yang hening.

Rakaat satu terlewat. Rakaat kedua, ketiga, sampai tiba di tasyahud akhir. Sang Imam pun menutup solat dengan membaca salam sambil menoleh ke arah kanan. Oleh sudut matanya, ia dapati seorang makmum dibelakangnya masih duduk tasyahud. Sang Imam pun lalu membaca salam kedua, menolehkan wajah ke samping kiri. Kedua salam itu ia suarakan dengan mantap. Beberapa detik kemudian, sang Imam memutar badan bermaksud bersalaman dengan makmum. Subhanallah. Subhanallah. Subhanallah wa bihamdih. Sang Imam tak mendapati makmum yang tadi berjamaah bersamanya. Sang Makmum hilang sira entah ke mana. Sang Imam lalu berdiri, matanya sibuk mencari jejak kemana ia yang tadi solat di belakangnya. Dadanya yang seketika naik turun, sesak oleh tanya, “Kemanakan dia? Siapakah dia?”

Saya yang mendengar kisah ini, langsung dari pelakunya, berkata, “Mungkinkah ia malaikat?” Wallahu’alam.

Kisah ini, mirip dengan pengalaman Prof. Dr. H. Afif Muhammad yang ia tulis dalam bukunya “The End of Religion Era”. Satu esai beliau yang berjudul “Saya Melihat Malaikat di Baetullah”. Jika tertarik dan berkenan, bacalah artikel Prof Afif ini, yang menurut almarhum KH. Jalaluddin Rakhmat, kala membedah buku ini, adalah artikel terbaik pada buku The End of Religion Era (diterbitkan oleh Sabda Book’s).

240723

Facebook
WhatsApp
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Newsletter

Latest Post