Menemui Calon Penghuni Surga
Abdullah Ibn Umar berjalan bergegas menuju satu rumah. Ia hendak menemui seseorang yang sangat spesial. Ia penasaran akan sabda Nabi Muhammad Saw.
“Sebentar lagi akan muncul di depan kalian penghuni surga,” ujar Rasulullah Saw. Para sahabat kaget dan penasaran. Tak lama kemudian, tiba-tiba datang seorang lelaki Ansor. Janggutnya basah oleh air wudlu. Ia mengepit sandal usang di tangan kirinya. Esoknya, Nabi SAW berkata hal yang sama, dan yang datang masih lelaki yang sama juga, berulang sampai tiga hari.
Itu sebab, Abdullah Ibn Umar penasaran. Sampai di rumah lelaki yang oleh Nabi SAW disebut calon penghuni surga, ia berkata, “Ki sanak, aku bertengkar dengan ayahku (Umar ibn Khatab al-Faruq). Aku bersumpah tak akan menemuinya selama tiga hari. Maukah Ki Sanak menerimaku sampai waktu itu berlalu?” Lelaki itu menjawab, “Silahkan, dengan senang hati.”
Selama tiga hari, Abdullah Ibn Umar tinggal bersama lelaki itu. Dan tak ada yang spesial. Tak salat malam, tak puasa sunnah, tak terus membaca al-Quran. Dalam penglihatan Abdullah Ibn Umar, lelaki itu biasa saja. “Apa keistimewaannya sehingga Rasulullah SAW menyebutnya calon penghuni surga?” tanya benak Ibn Umar. Semua biasa saja, kecuali jika lelaki itu tertidur, setiap kali ia menggerakkan badan (ngulisik), ia selalu berdzikir dan takbir, terus begitu sampai ia melakukan solat fajar. Teksnya berkata:
اذا تعار تقلب على فراسه ذ كر عزوجل وكبر حتى يقوم صلاة الفجر
“Wahai hamba Allah,” ucap Abdullah ibn Umar. “Sebenarnya aku tak bertengkar dengan ayahku. Ayahku tidak marah, dan aku tidak menjauhinya. Tetapi, aku mendengar Rasulullah SAW berkata sampai tiga kali, akan muncul salah seorang penghuni surga, dan tiga kali itu engkau muncul. Aku ingin mengetahui amal engkau, semoga aku bisa menirunya. Dan aku melihat selama tiga hari, tak ada amal engkau yang luar biasa. Jadi sebenarnya, amal apa yang engkau lakukan sehingga engkau sampai kepada apa yang disebutkan Rasulullah SAW.”
Orang itu berkata, “Aku tidak lebih dari apa yang telah engkau lihat.” Abdullah ibn Umar terus bertanya, dan jawabannya tetap sama. Dan ketika Ibn Umar mulai membelakangi lelaki itu, khawatir melukai hati Ibn Umar, lelaki itu berkata, “Aku memang tak lebih dari yang engkau lohat. Hanya saja, hatilu aku tak pernah menyimpan niat buruk, kebencian atau dengki terhadap kebaikan yang telah diberikan Allah kepada orang lain.”
Terbayang kiranya, Abdullah ibn Umar menarik nafas dalam, lalu berkata, “Hadzihil-lati balagot bika wa hiyal-lati la uthiqu. Inilah yang menyebabkan engkau sampai pada kedudukan engkau. Dan aku tak mampu untuk itu.” (Hayatus-Shahabah, 2: 530-532)
Penghuni surga, para wali Allah, dalam al-Quran terbaca “Dan Kami hilangkan segala penyakit dalam hatinya sehingga mereka menjadi bersaudara berhadap-hadapan duduk di atas kursi panjang” (Q.S. al-Hijr: 47).
Dalam kisah di atas, tanda mereka yang hatinya bersih, adalah dalam istirahat atau tidur mereka, setiap mereka bergerak (ngulisik), selalu berdzikir dan bertakbir. Nah, jika pembaca menemukan siapa pun yang tidurnya demikian, datangi dan mintalah doa kepadanya, karena hatinya sungguh seputih bersih. Kebalikannya, siapapun mereka yang tidurnya belum demikian, hatinya masih terisi noda dunia, sekalipun mereka bergelar Ajengan atau Kiai atau Gus atau apa pun itu. Wallahu a’lam.
Menarik kiranya, hikmah dalam kisah ini, kita bahas dengan pendekatan psikoanalisis yang berujar tentang “alam bawah sadar” atau “mimpi”. Alam yang konon merupakan kejujuran seorang pribadi, seperti teori Freud atau Jung. Hanya saja, nampaknya bukan di ruangan ini kita mesti mengurainya. ()
Fauz Noor
190622