we-re-living-in-a-post-truth-world-1-0e2ceb

Diposting oleh:

Menangkal Fitnah Post-Kebenaran

Oleh Fauz Noor

Dewasa ini, keterbukaan nampaknya bukan lagi satu perintah atau anjuran untuk diraih. Di zaman kita ini, keterbukaan menjadi sesuatu yang tak bisa dihindari. Informasi mudah kita dapatkan. Bahkan, karena begitu terbukanya, informasi datang begitu saja dengan tanpa kita minta. Informasi datang berjubel, mendesak masuk, menyerang benak, seperti ketika kita membuka sosial media. Begitu sangat terbukanya, sampai sukar kita membedakan antara kebenaran dan kebohongan. Ketika cahaya begitu terang maka matahari tak bisa kita lihat. Steve Tesich, menyebut kondisi ini dengan “post-truth” (1992). Sampai di tahun 2014, Ralph Keyes membahas ini dalam satu buku khusus, The Post-Truth Era (2004). Kemudian kata ini menjadi kata yang mendunia terkait kasus Brexit dan Pilpres Amerika.

Merujuk kamus Oxford, post-truth adalah suatu kondisi ketika emosi dan keyakinan personal justru lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik ketimbang fakta objektif. Emosi dan perasaan mengalahkan nalar pikiran. Pada era post-kebenaran, tafsir terhadap fakta merupakan kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri. Kebenaran pun makin jauh dari faktanya. Itu sebab, tayangan di medos seringkali membidik perasaan manusia. Misal, kasus Palestina, selalu saja tayangan mengerikan dan penindasan terhadap saudara kita disana yang disuguhkan kepada kita, yang diserang adalah perasaan kita, sehingga ketika dialog akan dibangun malah ramai-ramai dibully. Bukankah dialog adalah fakta objektif yang diperintahkan oleh al-Quran?

Dalam menjalani post-truth, ada resiko yang tidak gampang. Resiko pertama adalah kerisauan akan diri. Kita cenderung tertarik pada apa saja yang berkaitan dengan kehidupan kita, sementara setiap orang hidup dalam die umgrenzte Lebinkreis ¬– lingkaran hidup yang terbatas. Lingkaran pertama adalah diri kita, lalu keluarga, lalu kelompok, lalu komunitas, dan seterusnya. Perhatikanlah foto kerumunan orang. Kita akan mencari lebih dahulu gambar kita, keluarga kita, lalu komunitas kita. Kumpulkan bendera berbagai negara. Anda akan segera mencari bendera Indonesia. Ketika membuka sosial-media, kita akan membuka informasi-informasi partai yang kita suka, oramas yang kita percaya, komunitas yang kita terlibat didalamnya.

Karena perhatian kita terbatas, kita juga cenderung melihat sifat-sifat yang baik pada objek perhatian kita. Mungkin kita merasa keluarga kita paling menarik, bendera kita paling indah, dan ormas kita paling benar. Sebagaimana perhatian, keindahan dan juga kebenaran, menjadi sangat terbatas. Maka ketika kita melihat objek di luar “lingkaran terbatas” itu sering merisaukan kita. Kita merasa tidak enak, ketika lingkaran kita harus diperluas atau harus tumpang-tindih dengan lingkaran-lingkaran yang lain. Lebih tidak enak lagi, ketika ada yang lebih baik dan indah ketimbang diri atau lingkaran kita.

Era post-truth semestinya kita untuk dijalani dengan melihat peluang yang tidak indah pada diri kita. Dan ini tentu saja menyakitkan. Inilah resiko yang kedua: mengakui kekurangan kita. Tidak banyak orang yang siap menerima kekuarangan. Tapi kita harus berjuang untuk menerima ini. Nah, disini kita berhadapan dengan resiko ketiga: meninjau kembali sistem pikiran kita. Kita harus mempertanyakan asumsi-asumsi yang selama ini kita pegang teguh. Bukan tidak mungkin, dan bahkan sering, kita harus mengubah sistem keyakinan atau opini sendiri.

Ketiga resiko diatas janganlah merisaukan atau membuat kita malas menggapai hikmah. Keterbukaan harus dijalani, dan dihadapai. Dalam al-Quran kita membaca, ”Allah menganugrahkan al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al-hikmah maka ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 269). Thabthaba’i, ketika menafsirkan ayat ini, mengartikan hikmah dengan pernyataan yang benar, sesuai dengan realitas dan mencakup kebahagiaan manusia. Dan untuk meraih “pernyataan yang benar” yang dibutuhkan adalah sikap al-ihkâm (kecermatan) dan al-itqân (ketelitian). (Tafsir al-Mizan, 2: 395).

Al-hikâm dan al-itqân dibutuhkan supaya kita tidak menjadi korban hoax. Tentu saja ini butuh usaha. Setidaknya di era post-truth, beberapa karakteristik yang harus dimiliki antara lain: 1) menilai pesan atau informasi bukan berdasarkan motif pribadi, tetapi berdasarkan data dan konsistensi logis, 2) menjauhi berpikir simplistis, 3) bersandar utama pada isi pesan dan bukan kepada siapa yang memberi pesan. 4) tidak tergesa-gesa dalam menarik informasi atau marik kesimpulan.

Jika benar bahwa dewasa ini Indonesia darurat hoax, sehingga banyak rakyat Indonesia yang mengkonsumsi berita bohong. Tapi insya Allah lebih banyak lagi rakyat yang sadar bahwa hikmah adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan mereka akan menjauh dari fitnah. Di era post-truth, membedakan hikmah dan fitnah sangat sulit, sebagaimana sindiran ayat yang sudah dikutip diatas, “dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” []

Bagikan:

Berikan Komentar