jalaluddin rakhmat

Diposting oleh:

Kritik Teologi Jalaluddin Rakhmat

Kritik Teologi Jalaluddin Rakhmat

(tentang Wahyu Pertama Turun)

Pengantar

Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat, satu nama yang dilingkungan akademis bukan sesuatu yang asing. Pakar komunikasi dari Universitas Padjajaran (UNPAD) disamping dikenal dengan ceramah-ceramahnya yang bernas, juga populer sebagai penulis yang piawai dalam menyampaikan ide-idenya. Disamping itu, hal ini hemat penulis menjadi ciri khas pemikiran beliau, Kang Jalal (demikian beliau biasa disapa) ketika buku pertamanya terbit, Islam Alternatif, lalu terbit lagi Islam Aktual, banyak mengusung pemikiran-pemikiran Syi’ah. Hemat penulis, di kedua buku itu, seperti pengakuan beliau, “Saya berusaha mendamaikan Sunni-Syi’ah.” Di dua buku tersebut Kang Jala adalah ulama Indonesia, barangkali yang pertama, yang mencoba mendamaikan Sunni-Syi’ah di Indonesia.

Selepas dua buku diatas, terutama buku-buku yang Kang Jalal tulis belakangan selepas Reformasi, terlihat disana bahwa beliau benar-benar mengusung pemikiran Syiah. Bukan sekedar ingin mendamaikan, melainkan benar-benar menjadi Syi’ah. Seperti dalam buku Rindu Rasul dan Al-Musthafa. Di kedua buku ini, disampingkan meneguhkan pemikiran Syi’ah, Kang Jalal pun tak segan untuk mengkritik pemikiran populer di masyarakat Muslim Indonesia yang notabene mayoritas bermadzhab Sunni.

Ketika Kang Jalal melancarkan kritiknya, dan ini menjadi fokus kajian makalah ini, tak jarang beliau bertindak “curang”. Maksudnya, beliau mengutip kitab-kitab yang menjadi pegangan madzhab Sunni namun dalam kutifannya ia biarkan menggantung atau sepenggal atau tidak subtansial.

Makalah ini akan mencoba melihat secuplik kritik Kang Jalal terhadap keyakinan madzhab Sunni kemudian akan berusaha menunjukan kecurangan beliau secara akademis. Karena hanya berupa makalah, fokus kajiannya bukan merupakan kajian menyeluruh terhadap pemikiran Kang Jalal. Makalah ini hanya akan melihat satu buku karya beliau saja, yaitu Al-Musthafa. Ini pun bukan kepada keseluruhan pemikiran Kang Jalal di buku itu, melainkan. hanya akan melihat satu kasus saja, yaitu tentang Hadist Turunnya Wahyu Pertama kepada Rasulullah Saw.

Hadits Turunnya Wahyu Pertama

Dalam madzhab Sunni, wahyu pertama dikenal dengan wahyu yang turun di Gua Hirra. Hadits ini dikutif oleh hampir semua kitab Hadits, kutuub as-sittah. Berikut adalah teks yang dikutip oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari.

Wahyu yang pertama turun kepada Rasulullah Saw. ialah mimpi baik (ru’ya ash-shâlihah) dalam tidur beliau. Biasanya mimpi itu terlihat jelas oleh beliau, seperti jelasnya cuaca pagi. Semenjak itu hati beliau tertarik hendak mengasingkan diri ke Gua Hira. Di situ beliau beribadah beberapa malam, tidak pulang ke rumah istrinya. Untuk itu beliau membawa perbekalan secukupnya. Setelah perbekalan habis, beliau kembali kepada Khadijah, untuk mengambil lagi perbekalan secukupnya. Kemudian beliau kembali lagi ke Gua Hira hingga suatu ketika datang kepadanya Al-Haq, yaitu sewaktu beliau masih berada di Gua Hira. Malaikat datang kepadanya lalu berkata,

‘Bacalah (Iqra’)!’

‘Aku tak bisa membaca,’ jawab Nabi.

Nabi selanjutnya menceritakan,

‘Aku ditarik dan dipeluk sehingga aku kepayahan. Kemudian aku dilepaskannya dan disuruhnya pula membaca.’

‘Bacalah!’ katanya (Jibril).

‘Aku tidak pandai membaca,’ jawabku.

Aku ditarik dan dipeluknya pula sampai aku kepayahan. Kemudian aku dilepaskannya dan disuruhnya pula membaca, ‘Bacalah!’ katanya.

‘Aku tak pandai membaca,’ jawabku.

Aku ditariknya dan dipeluknya untuk ketiga kalinya, kemudian dilepaskannya seraya berkata,

Iqra’! Bismirabbikalladzî khlaq. Khalaqalinsâna min ‘alaq. Iqra’! Wa rabbukal-akram”.

Setelah itu Nabi pulang ke rumah Khadijah binti Khuwailidi Umil-Mukminîn, lalu berkata, ‘Selimuti aku! Selimuti aku!’ (zummalunnî , zummalunnî)

Lantas diselimuti oleh Khadijah hingga hilang rasa takutnya.

Kata Nabi kepada Khadijah (setelah dikabarkan semua kejadian yang baru dialaminya itu), ‘Sungguh aku cemas pada diriku sendiri (khasyîtu ‘ala nasfî).’

Khadijah berkata, ‘Jangan takut! Demi Allah! Tuhan sekali kali tidak akan membinasakanmu. Engkau selalu menghubungkan tali persaudaraan, membantu orang miskin, mengusahakan barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran.’

Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza, yaitu anak paman Khadijah, yang telah memeluk agama nasrani pada masa Jahiliyyah itu. Ia pandai menulis buku dalam bahasa Ibrani. Maka disalinnya Kitab Injil dari bahasa Ibrani seberapa dikehendaki Tuhan dapat disalinnya. Usianya telah lanjut dan matanya telah buta.

Kata Khadijah kepada Waraqah, ‘Hai anak pamanku, dengarkanlah kabar dari anak saudara Anda (Muhammad) ini.’

Kata Waraqah kepada Nabi, ‘Wahai anak saudaraku! Apa yang telah terjadi atas dirimu.’

Lalu Rasulullah Saw. menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya.

Waraqah berkata, ‘Inilah Namus (Malaikat Jibril) yang pernah diutus Tuhan kepada Nabi Musa. Semoga aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu.’

Maka bertanya Rasulullah Saw., ‘Apakah mereka akan mengusirku.’

Jawab Waraqah, ‘Ya, benar! Belum pernah seorang jua pun yang diberi wahyu seperti engkau yang tidak dimusuhi orang. Apabila saya masih mendapati hari itu, niscaya akan menolong engkau dengan pertolongan yang sebenar-benarnya.’

Tidak berapa lama kemudian, Waraqah meninggal dunia dan wahyu pun terputus untuk sementara waktu.’”

 

Kritik Kang Jalal

Di buku Al-Musthafa Kang Jalal memberikan lima “keberatan” untuk menerima hadits Imam Bukhari tentang peristiwa turunnya wahyu pertama. Saya akan menulisnya secara lengkap dan akan langsung mengkritik pemikiran Kang Jalal terhadap poin-poin yang menjadi keberatan beliau.

  1. Pada sanad hadits itu disebutkan Al-Zuhri, Urwah bin Zubair dari Aisyah. Al-Zuhri adalah seorang ulama penguasa yang berkhidmat pada Hisyam bin Abdul Malik. Ia mengajar anak-anak Hisyam. Ia terkenal sangat membenci Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Pernah ia duduk berdua dengan Urwah di Masjid Madinah dan memaki-maki Ali. Sampailah berita itu kepada Imam As-Sajdah. Ia datang menegurnya dan berkata, ‘Hai Urwah, ayahku pernah bersengketa dengan ayahmu; ayahku benar dan ayahmu salah. Adapun engkau, hai Zuhri, sekiranya engkau berada di Makkah, akan kutunjukkan gubukmu.’ [1]

Ketika Kang Jalal berkata bahwa Al-Zuhri adalah seorang pendusta, beliau mengambil rujukan dua kita, Bihar al-Anwar dan Syarah Nahjul Balaghah (karangan Ibn Abi Al-Hadid), dua kitab Syi’ah.

Tidak beda dengan Al-Zuhri, Urwah juga politisi yang mengikuti siapa saja yang berkuasa. Ia pernah bercerita tentang dirinya sendiri, ‘Aku pernah menemui Abdullah bin Umar. Aku berkata padanya: Wahai Abu Abd Al-Rahman, kami senang duduk bersama dengan para pemimpin kami. Mereka berbicara yang tidak benar. Kami membenarkannya. Mereka melakukan kedzaliman, kami memperkuatnya dan memuji-mujinya. Bagaimana pendapatmu? Abdullah bin Umar berkata: Wahai saudaraku, pada zaman Nabi kami menganggap perbuatan seperti itu sebagai kemunafikan. Aku tidak tahu menurut kalian.’

Kutipan kedua ini, rujukan yang dipakai Kang Jalal dalam bukunya adalah tiga kitab Sunni, Sunan Baihaqi, Targhib wa Tarhib dan Ihya’ Ulum ad-Din. Di catatan kakinya Kang Jalal menulis dengan jujur, Tetapi tidak menyebut Urwah.”[2]

Kang Jalal kembali menulis: “Menurut al-Quran, ‘Dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang munafik itu benar-benar pendusta. (QS. Al-Munâfiqûn: 1). Menurut sunnah Nabi Saw., salah satu tanda munafik ialah bila berbicara ia berdusta. Dalam ilmu hadits kita tak boleh menerima hadits dari pendusta. Hadits ini karenanya patut diduga hanyalah dusta. (Penulis, FN, membuat garis miring kepada kata patut diduga).”

Kalau benar Pak Jalal mau bergabung bersama deretan ulama-ulama ahli hadits, seharusnya beliau tak menggunakan kata patut diduga. Karena hadits ini patut diduga dusta, maka patut diduga pula pendapat bahwa Al-Zuhri dan Urwah bin Zubair seorang pendusta itu adalah dusta.

Baiklah kita sepakat bahwa Al-Zuhri dan Urwah itu seorang pendusta. Namun, apakah ketika Al-Zuhri dan Urwah meriwayatkan hadits yang diterima Imam Bukhari di atas ketika itu mereka berdua berdusta? Kang Jalal di buku itu tak menjawab! Setiap orang mau berpikir waras akan sepakat bahwa tidak selamanya seseorang yang kita klaim pendusta itu berdusta, dalam waktu-waktu tertentu bisa saja dia akan berlaku atau berkata jujur. Konteks dusta itu harus kita simpan pada satu kondisi dan konteks tertentu. Tanpa penelaah seperti itu, kita akan terjebak pada kesalahan berpikir, dalam istilah Pak Jalal dalam bukunya Rekayasa Sosial, model Fallacy of Dramatic Instance (lebih populer dengan Over-Generalitation).

Aneh, sungguh aneh. Menurut Kang Jalal, Urwah itu adalah patut diduga seorang pendusta, tetapi Kang Jalal sendiri yang menulis (di atas kita telah kutip), “Ia (Urwah) pernah bercerita tentang dirinya sendiri, ‘Aku pernah menemui Abdullah bin Umar. Aku berkata padanya…..’” Kang Jalal mengutip perkataan Urwah. Katanya Urwah itu pendusta, kenapa Kang Jalal sendiri yang mempercayai perkataan Urwah yang ini. Ya, aneh sungguh aneh!

Sekarang kita bisa bertanya, kenapa seorang pemikir setangguh Kang Jalal sampai rela harus menulis bahwa Al-Zuhri dan Urwah “patut didguga” pendusta?

Dalam kitab Sunan Al-Baihaqî, yang dikutif Kang Jalal diatas, diceritakan bahwa yang menemui Ibnu Umar itu rajulun (artinya seseorang), tak disebutkan langsung bahwa yang menemui Ibnu Umar itu adalah Urwah.[3] Di sinilah kita tahu kenapa Kang Jalal “bimbang”, karena memang ia tak membaca di kitab rujukannya bahwa yang menemui Ibnu Umar itu adalah Urwah. Tapi, kenapa Kang Jalal berani-beraninya berkata bahwa yang menemui Ibnu Umar itu adalah Urwah? Di sini Kang Jalal telah berhasil menjadi seorang “pendusta” dan “penipu”.

Kemudian, dalam kitab Shahih Bukhari juga tak disebutkan langsung bahwa yang menemui Ibnu Umar itu adalah Urwah, tetapi tertulis di sanan unâsun (artinya, seseorang).[4] Begitu juga dalam Fathul-Bârî tak disebutkan secara langsung bahwa seseorang itu adalah Urwah.[5]

Sampai disini, bisa saja kita berkata bahwa Kang Jalal telah berlaku serampangan dengan menuduh bahwa yang menemui Ibnu Umar itu adalah Urwah, mengingat kitab rujukan beliau pun tak menyebut nama Urwah. Kang Jalal bermaksud membohongi umat dengan menulis nama Urwah. Kang Jalal bermaksud menipu para pembaca Al-Musthafa bahwa yang berkata kepada Ibnu Umar itu adalah Urwah. Nah, sebagai seorang muslim, kita diperitahakan untuk saling menasihati dengan kebenaran, sebisa mungkin kita harus menyelamatkan Kang Jalal dari kebohongannya. Perlu diingatkan kepada Kang Jalal bahwa yang menulis secara langsung bahwa yang menemui Ibnu Umar itu adalah Urwah, bisa kita baca dalam kitab karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, Muqadimah Fathul-Bârî juz 1 halaman 342. (Barangkali Kang Jalal lupa untuk mencantumkan referensi ini. Atau memang belum terbaca olehnya?).

Sekarang, apakah Urwah pantas untuk kita juluki sebagai seorang pendusta seperti tuduhan Kang Jalal? Mari kita lihat beberapa referensi lain tentang Urwah Ibn Zubair.

“Abdurrahman Ahmad bin Suaib ibn Ali An-Nasai berkata, ‘Yang diberinama fuqaha di antara para sahabat dan setelahnya (tabi’în) di kalangan penduduk Madinah di antaranya 1) Umar ibn Khatab. 2) Zaid ibn Tsabit. 3) Abdullah ibn Umar. 4) Aisyah. Di antara tabi’în, 5) Sa’id ibn Al-Musaib. 6) Urwah ibn Zubair. 7) Abu Salmah ibn Abdir-Rahman.”[6]

“Ahmad ibn Abdillah Al-‘Ajalî berkata, Urwah ibn Zubair adalah seseorang yang shlalih yang tidak terkenai (lam yadhulu fi syai) fithnah.”[7]

“Urwah ibn Zubair adalah seorang Faqîh.”[8]

Lalu, dalam kitab pokok Imam asy-Syafi’i Al-Um, kita menemukan banyak sekali (dalam hitungan saya sekitar ada sekitar 32 tempat) yang menjadikan Urwah sebagai dalil. Misal, satu saja dalam Juz 1, ketika berbicara sunah mandi besar ketika Hari Raya.[9]

Di beberapa tempat dari buku-buku Kang Jalal, beliau cukup hormat terhadap Imam asy-Syafi’i. Kalau Imam asy-Syafi’i saja mempercayai riwayat-riwayat yang diceritakan Urwah ibn Zubair, apakah hanya karena satu perkataan yang masih meragukan yang dimuat di muqaddimah Fathul-Bârî lantas kita langsung mengklaim bahwa Urwah ibn Zubair adalah seorang pendusta sebagaimana tuduhan yang ditembakkan pena Prof. Dr. Jalaluddin Rakhmat?

Tentang Al-Zuhri pun sama, banyak kitab-kitab karya ulama kenamaan kita yang memuat riwayat darinya. Untuk membuktikan bahwa Kang Jalal telah “menipu” kita cukup kiranya dengan mencuplik riwayat-riwayat tentang Urwah ibn Jubair saja. Ya, dengan kecanggihan penulisan Pak Jalal, Pak Jalal telah menyembunyikan tipuannya dengan menulis patut diduga.

  1. Ketika peristiwa turunnya wahyu itu, Aisah belum dilahirkan. Dalam riwayat ini, ia seakan-akan melihat dan mendengar sendiri. Ia melihat Nabi pergi ke gua, pulang ke Khadijah, mendengar percakapan Khadijah dan Waraqah bin Naufal. Kita boleh saja mengatakan bahwa Aisah mendengar dari Rasulullah Saw.; tetapi dalam ilmu hadits, ia harus mengatakan: Aku mendengar Rasulullah bersabda … dan seterusnya. Dengan begitu kita harus menolak hadits ini sebagaimana kita menolak hadits yang menceritakan bahwa Abu Hurairah berjumpa Ruqayah, istri Utsman, padahal Ruqayyah meninggal dunia ketika Abu Hurairah masih kafir dan tinggal nergi Daws. .

Aneh memang, biasanya hadits seperti itu disertai dengan sami’tu ‘an Rasûlillâh… (aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda ….). Saya pun tak tahu, apakah memang teks hadits yang seperti itu “harus” dibumbui “Aku mendengar Rasulullah bersabda…”

Membaca kritik Kang Jalal di poin ini, bagi kita akan semakin mempertegas bahwa dalam menerima (satu) hadits, kita harus benar-benar hati-hati dan selektif. Oleh karena itu, kita seharusnya memasang akal kita secara kuat dalam menelaah apalagi (kalau akan) mengkritik; ketika mengkritik, jangan asbun (asal bunyi) kita ngomong. Kang Jalal menulis, “… harus ditolak”. Hebet sekali. Beliau begitu berani.

Dalam madzhab Sunni, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi, adalah seorang ulama hadits yang sering jadi rujukan. Dalam kitab karya beliau, Al-Muqidzah fî ‘ilm Musthalah Al-Hadits, dijelaskan bahwa periwayatakan hadits yang memakai teks sami’tu ‘an rasulillâh (aku mendengar Rasulullah bersabda…) bukanlah merupakan jaminan kelemahan atau keshahihan hadits. Saya pun tetap memelihara kepercayaan saya akan hadits Imam Bukhari di atas.[10] Pendapat ini diterima dan dibenarkan juga oleh ahli hadits lain, yaitu Ibn Abdul-Barr.[11] Maka, perkataan Kang Jalal, “… dalam ilmu hadits, ia harus mengatakan: Aku mendengar Rasulullah bersabda …” penulis pandang sabagi perkataan seorang “penipu”. Kenapa? 1) Kang Jalal tak memberikan rujukan ulama hadits siapa, ilmu hadits yang mana yang berkata demikian. 2) Barangkali Kang Jalal ingin menjadi ahli hadits. Kalau demikian, jelas Kang Jalal mesti memberikan fakta-fakta hadits lainnya yang senada, bukan hanya hadits Bukhari yang ini saja.

  1. Dalam peristiwa itu digambarkan kedatangan wahyu yang sangat berat. Malaikat Jibril memeluk Nabi dengan keras, sampai kepayahan dan ketakutan. Nabi Saw. dipaksa untuk untuk membaca, padahal ia tidak bisa membaca. Tidak pernah wahyu datang dengan cara yang ‘mengerikan’ seperti ia datang kepada Nabi,” demikian Pak Jalal (saya memiringkan kata sangat berat, dipaksa dan ”mengerikan”). Lalu Pak Jalal mengutip ayat Al-Qur’an untuk mendukung agurmennya, “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al-An’am [6]: 125)”. (Di buku Al-Musthafa, mungkin salah cetak, di sana tertulis, QS. An-Nisâ: 125, F.N). Jadi, dada Rasulullah Saw. setelah menerima wahyu, sempit dan sesak, maka ia sedang dikehendaki untuk disesatkan, dan bukan diberi petunjuk. Kita harus menolak hadits ini, karena isinya bertentangan dengan Al-Qur’an.

Kalau dalam istilah ilmu manthik, di poin ini, Kang Jalal telah men-tasawi (ekuifalensi, menyamakan) tasawur (gambaran di benak) huda (memberi petunjuk) dengan yuha (mewahyukan).

Sungguh keterlaluan Kang Jalal dipoin ini. Secara tak langsung beliau berkata bahwa Imam Bukhari telah mengabarkan bahwa yang terjadi di Gua Hira itu adalah kesesatan. Permasalahannya, apakah benar kata huda (petunjuk) bisa disejajarkan dengan yuha (mewahyukan)? Kalau iya, berarti orang-orang yang dapat petunjuk (huda) itu bisa juga kita bahasakan orang yang dapat wahyu. Kalau iya, berarti pintu kenabian masih terbuka, sebab huda Tuhan akan terus menyapa kepada siapa saja yang Dia Kehendaki. Kalau iya, maka kita harus berkata bahwa argumen Pak Jalal pada poin ini “menyimpang”. Argumen Kang Jalal di poin ini bisa menyeret kita akan ada lagi Nabi setelah Muhammad bin Abudullah Saw. Bukankah masalah kenabiaan orang-orang Syi’ah teramat sangat sensitif sampai-sampai putera-putera Nabi Saw. mereka yakini terbebas dari dosa (ma’shum)?

Bisa saja (mungkin) Kang Jalal mengkonsepsi huda dan yuha dengan berargumen, “Kalau huda (petunjuk) Tuhan saja datang dengan melapangkan, apalagi wahyu. Wahyu itu harus lebih melapangkan”. Kalau dalam ilmu manthiq, argumen ini dikenal dengan Umum wa Khas Mutlaq (implikasi). Wahyu itu pasti huda, namun huda tak pasti wahyu. Sepengetahuanku, mengimplikasi wahyu dengan huda, tak ditemukan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an tak menceritakan bagaimana wahyu diterima seorang nabi, apakah melapangkan sebagaimana huda turun kepada seorang hamba ataukah lebih melapangkan daripada huda, atau malah berat tak seperti huda?

Tentang yuha (mewahyukan), bagaimana dengan ayat Al-Qur’an yang satu ini. “Dan Tuhanmu (Muhammad) mewahyukan (auhâ) kepada lebah, ‘Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat manusia.” (QS. An-Nahl [16]: 68). Apakah Kang Jalal akan berkata bahwa lebah telah mendapat petunjuk (huda)? Apakah Kang Jalal akan berkata dada lebah sempit dan sesak ketika mendapatkan “wahyu” dari-Nya? Sepenglihatanku, dalam Al-Qur’an kata huda selalu merujuk kepada manusia.

Kita sepakat, seperti kata Ibnu Sina dan disetujui Fazlur Rahman, wahyu itu satu keajaiban, datang kepada manusia-manusia pilihan-Nya. Dan keliru orang yang mengharapkan dirinya menerima wahyu. Muhammad Saw. pun sebelum wahyu pertama datang tak mengharap dan menyangka dirinya akan menerima wahyu. Walapun kitab-kitab tarikh mengakui, baik Sunni maupun Syiah, ketika muda Abu Thalib diberitahu oleh seorang pendeta bernama Bahira bahwa Muhammad akan menjadi seorang Nabi. Tapi, Muhammad muda tak menganggap dirinya akan menjadi seorang Nabi suatu ketika nanti. Nah, sebagai seorang basar – manusia seperti kita (Q. S. 18:110) – tentu saja secara psiokologi Muhammad merasa aneh menerima “pengalaman pertama” ketika wahyu pertama turun. Menurut Kang Jalal, wahyu itu tak mungkin turun begitu “berat”.

Apakah wahyu itu “berat” atau “ringan” ketika turun kepada nabi? Menurut Kang Jalal, ringan! (mengingat Kang Jalal berkata bahwa wahyu tak mungkin turun berat, ya mamhum bikhafah-nya bererti beliau menyakini bahwa wahyu mesti turun ringan).

Apakah wahyu itu “berat” atau “ringan” ketika turun kepada nabi? Jawabannya hanya Nabi sendiri yang tahu. Akal kita boleh saja mengartikan bahwa wahyu itu turun “ringan” seperti keyakinan Kang Jalal. Beliau mengkonsepsi bahwa wahyu itu mesti turun melapangkan dada. Namun, akal kita tetap tak bisa mengetahui seberapa “kapasitas ringan” pada saat wahyu turun kepada seorang nabi. Begitu pun sebaliknya, kalau kita berkata wahyu itu turun “berat”, tetap saja akal kita tak akan tahu seberapa “kapasitas beratnya”. Jadi, ketika Kang Jalal berargumen bahwa wahyu itu tak mungkin turun sebegitu “berat”, ada dua kemungkinan yang ada: 1) Kang Jalal pernah mengalami bagaimana turun wahyu kepadanya. Kalau ini yang terjadi, Pak Jalal telah terjerumus pada kesesatan yang nyata. 2) Kang Jalal telah terjebak pada logika pokok Aristoteles; dualistik, biner, berat dan ringan. Walau Kang Jalal menulis “sangat berat”, tetap saja kata sangat di sana memburemkan. Saya cukup aneh, saya banyak belajar di buku-buku Pak biliau tentang bahayanya pola pikir biner, tapi kenapa beliau sendiri yang terjebak pada kesalahan pola pikir itu ketika membahas tentang turunnya wahyu kepada Rasulullah? Dua kemungkinan ini, kemungkinan yang kedua kiranya lebih mengena.

Wahyu itu satu keajaiban yang diluar nalar manusia bagaimana terjadinya, hanya manusia-manusia pilihan-Nya saja yang merasakan dan paham proses terjadinya. Kalau kita berkata bahwa wahyu itu turun “berat” atau “ringan”, itu hanya penafsiran benak kita saja yang sempit.

Bagaimana dengan satu keterangan hadits Bukhari yang diterima dari Hirits bin Hisyam dan diriwayatkan Aisyah? “Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah Saw., ‘Ya Rasulullah, bagaimana wahyu Tuhan turun kepadamu?’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Kadang-kadang ia turun seperti bunyi sebuah lonceng, dari berbagai cara wahyu diturunkan cara inilah yang paling berat (asyadduhu ‘alayya) dan kemudian suara (lonceng) itu menghilang setelah aku menerima wahyu itu, kadang-kadang malaikat menemuiku dalam wujud seorang laki-laki dan berbicara kepadaku dan aku mengingat apa pun yang dia katakan.’ Aisah r.a. menambahkan, ‘Ketika Nabi Saw. sedang menerima wahyu pada suatu hari yang dingin aku melihat peluh berjatuhan dari dahinya hingga wahyu itu selesai diwahyukan.’” Dalam hadits ini, Nabi sendiri mengatakan bahwa wahyu itu turun berat dan yang terberat adalah melalui media suara lonceng. (Bagi Kang Jalal sepertinya hadits ini akan beliau tolak mengingat hadits ini diriwayatkan oleh Aisah ra).

Menurutku, sebaiknya, teks hadits “berat” turunnya wahyu itu harus kita pahami bahwa Rasulullah hendak berkata bahwa kemampuan benak kita tak akan bisa menganalisis proses turunnya wahyu. Dengan bahasa “berat” itu, secara langsung Rasulullah hendak berkata bahwa “janganlah mengharap menerima wahyu, sebab engkau tak akan mampu” atau “jangan sekali-kali menganalisis bagaimana wahyu turun, benakmu terlalu bodoh untuk mengetahui itu”.

Sekali lagi, tanpa terpaksa saya berkata di poin ini, argumen Pak Jalal mesti ditolak; menyimpang, bisa menyeret umat akan ada lagi nabi setelah Muhammad Saw.

  1. Rasulullah Saw. tak paham dengan pengalaman ruhani yang ia alami, karena itu kemudian ia dibawa menemui Waraqah bin Naufal dan ternyata tahu tentang kenabiannya ketimbang Rasulullah sendiri. Waraqahlah yang meyakinkan Nabi bahwa ia itu Utusan Allah bahwa yang datang itu malaikat Jibril. Ia sendiri tak yakin bahwa dirinya Rasulullah. Kata Waraqah, “Inilah Namus (Malaikat) yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Wahai, semoga saya masih hidup ketika itu, yaitu ketika anda diusir oleh kaum Anda.” Maka bertanya Rasulullah, “Apakah mereka akan mengusirku?” Jawab Waraqah, “Ya, betul! Belum pernah seorang jua pun yang diberi wahyu seperti Anda, yang tidak dimusuhi orang. Apabila saya masih mendapati hari itu, niscaya saya akan menolong Anda sekuat-kuatnya.” Kita tidak paham bagaimana Nabi yang mulia tidak menyadari kenabiannya, sedangkan orang lain – seperti Adas dan Waraqah – mengetahuinya. Bukankah Bahira pernah mengingatkan Abu Thalib bahwa Muhammad itu adalah Nabi akhir zaman? Bukankah menurut banyak hadits, sebelum diangkat menjadi Nabi, kepadanya pepohonan dan bebatuan mengucapkan salam?

Di hadits ini, ada yang perlu ditanyakan sebenarnya, apakah Khadijah pergi sendirian mendatangi Waraqah? Atau, apakah Muhammad ikut serta pergi bersama istrinya? Dari teks Imam Bukhari tertulis, fanthalaqat bihi Khadijah hattâ atat bihi waraqah, teks ini diterjemahkan Pak Jalal – seperti saya setujui dan tulis di atas – “kemudian Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah”. Terjemahan ini, menerjemahkan bihi menjadi “bersama Nabi” (ba di sana diterjemahkan dengan ba mushâhabah).

Muhammad Husain Haikal dalam bukunya Sejarah Hidup Muhammad mengisahkan lain. Menurut Haikal, yang menemui Waraqah bin Naufal adalah Khadijah sendirian, sementara Muhammad ketika itu terlelap tidur. “Maha Kudus Dia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Khadijah, percayalah, dia (Muhammad) telah menerima Namus Besar (Jibril) seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah,” demikian perkataan Waraqah kepada Khadijah yang tertulis di bab V, Dari Masa Kerasulan sampai Islamnya Umar. Sepulang dari Waraqah, Khadijah menceritakan komentar Waraqah kepada Muhammad, dalam bahasa Haikal, “dengan penuh gairah dan bersemangat sekali”. Mungkin, Haikal menceritakan demikian untuk menjaga bahwa Nabi tak paham akan pengalaman ruhaninya sendiri. Namun, kiranya Haikal tak merujuk hadits Imam Bukhari dalam menceritakan wahyu pertama, sebab di teks Imam Bukhari juga tertulis, “fa akhbarahu Rasulullullah salallâhu ‘alaihi wassalam, khabara mârâ’a, Lalu Rasulullah Saw. menceritakan kepadanya – yaitu kepada Waraqah – (semua) pengalaman yang telah dilihatnya (dialaminya)”. Jadi, menurut teks Imam Bukhari, yang pergi menemui Waraqah adalah Muhammad bersama dengan Khadijah.[12]

Hemat penulis, mau menerima pendapat “Khadijah pergi bersama Nabi” atau “Khadijah sendiri yang pergi”, menurutku tak perlu dibesar-besarkan. Yang pasti, peristiwa wahyu pertama itu begitu agung dan Nabi sendiri sebelumnya tak mengharap dan menyangka bahwa beliau terpilih menjadi utusan-Nya sehingga beliau merasa aneh dan berkata kepada istrinya sepulang ke rumah, “Sungguh aku takut atas diriku sendiri, khasyitu ‘alânafsî” (Kang Jalal mengartikan teks dengan menambah kata “aku binasa”, “Sungguh aku cemas pada diriku sendiri (aku binasa)”).

Menurutku, teks hadits ini mengisyaratkan satu langkah “hati-hati”-nya Rasulullah Saw. atas pengalaman aneh yang baru pertama kali beliau alami. Nabi pasti tahu bahkan sampai yakin bahwa yang datang kepadanya adalah utusan Tuhan (Jibril). Namun, sebagai seseorang yang cerdas dan punya kedewasaan dalam menghayati semua pengalaman yang beliau miliki, beliau “memilih” untuk mengkonsultasikannya kepada seseorang. Nabi Saw pun pergi bersama Khadijah untuk mengkonsultasikan pengalamannya kepada Waraqah. Kenapa kepada Waraqah bin Naufal? Jawabannya, mengingat: 1) Waraqah adalah putera paman Khadijah, kerabat Khadijah. 2) Kita tahu, seperti yang di paparkan Thaha Husain dalam ‘Alâ Hâmish-Shirah, Waraqah bin Naufal telah berkata kepada Khadijah sebelum menikah dengan Muhammad bahwa pemuda Al-Amîn yang Khadijah cintai itu kelak akan mendapat keagungan dari Tuhan.[13] Waraqah tahu semenjak Muhammad belum menjadi Rasul bahwa Muhammad adalah calaon utusan Tuhan. 3) Waraqah termasuk di antara orang-orang yang punya kemampuan menulis. Waraqah termasuk orang yang pantas untuk didatangi Nabi dan Khadijah karena Waraqah, disamping Nasrani taat, adalah seorang cerdas. 4) Pak Jalal menulis bahwa ketika Nabi muda, paman Nabi pernah diingatkan bahwa Muhammad kelak akan menjadi seorang Nabi dari seorang pendeta Nasrani, Bahira. Nah, perginya Rasulullah ke Waraqah terlebih karena Waraqah sama dengan Bahira, seorang Kristiani taat dan dipandang Nabi dan Khadijah akan berkata jujur tentang kenabian yang diutus-Nya. Menurutku, empat alasan inilah yang menuntun Nabi untuk mengkonsultasikan pengalamannya yang pasti beliau pahami kepada Waraqah untuk “lebih meyakinkan” beliau bahwa wahyu itu turun kepadanya seperti halnya telah turun kepada Isa as dan nabi-nabi yang lainnya.

  1. Dalam beberapa kitab Tarikh, pengalaman spiritual Nabi Saw itu dilengkapi dengan kisah-kisah seperti orang yang kemasukan jin atau makhluk halus. Tetapi karena yang datang itu malakat, ia diusir Khadijah dengan membuka kerudungnya. Ketika Rasulullah Saw memberitakan ada malaikat, Khadijah menyuruh duduk di sebelah kanan. Ketika diberitakan bahwa malaikat itu masih ada, Rasulullah Saw disuruhnya duduk di atas pengakuannya. Malaikat tidak juga pergi. Lalu perlahan-lahan Khadijah melepaskan kerudungnya. Kita sulit menerima riwayat seperti ini, apalagi dinisbahkan kepada Nabi Saw.

 

Harus diakui, banyak riwayat yang mengisahkan riwayat diatas. Sebut saja, Ibn Katsir dalam Bidayah wa al-Nihayah, Ibn Hisyam dalam Sirah Ibn Hisyam, Ibn Jarir at-Thabari dalam Tarikh Umam wa Mulk, dan banyak kitab lainnya. Namun banyak ulama Sunni yang menolak riwayat yang sampai Khadijah melepas kerudungnya untuk mengusir Jibril, diantaranya adalah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Untuk poin ini, penulis sepakat dengan Jalaluddin Rakhmat.

 

Penutup

Dari teaah akan pemkiran Kang Jalal terhadap satu hadits Bukhari diatas, hemat penulis adalah khas pemikiran Syiah. Ini terlihat dari kritik sanad yang dilakukan Kang Jalal, kritik terhadap Aisyah, Al-Zuhri dan Urwah. Kita tahu, bagai saudara kita kaum Syi’ah bahwa standar hadits yang bisa diterima adalah yang punya rangkaian hadits dari keluarga Nabi Saw.

Bagi kita, sah saja jika Kang Jalal ataupun saudara kita kaum Syi’ah lainnya mau melakukan kritik terhadap pendapat-pendapat penting yang diyakini kita yang bermadzhab Sunni. Hanya saja, kritik yang dilakukan haruslah kritik yang jujur, bukan kritik yang mencuplik atau mengutip kitab-kitab penting dalam Sunni dengan cara serampangan dan sepenggal-sepenggal. Hal ini berbahaya bagai mereka yang sedang mencari kebenaran dengan wawasan yang masih minim, semisal mahasiswa strata satu. Hemat penulis, buku Al-Musthafa karya Kang Jalal banyak dibaca oleh mahasiswa yang awam ilmu hadits.

Kita mendukung budaya kritik atau dialog. Hanya saja dialog yang dilakukan adalah dalog yang sehat, yang jujur dan penuh tanggungjawab, bukan dialog yang sepihak dengan menulis karya untuk memincut kaum muda dengan “menipu” mereka seperti yang ditulis Kang Jalal dalam buku Al-Musthafa. Sebagaimana kita sangat keberatan terhadap kritik Ibnu Taimiyyah, seperti dalam kitabnya As-Sharim Al-Masul ‘alâ Syatim Ar-Rasûl (mungkin akan terasa kasar, dari judulnya saja sudah teraba, Pedang Yang Dihunus untuk Melawan Para Pencaci Nabi), bagaimana marahnya Ibnu Taimiyyah kepada para ulama Syi’ah yang suka mencela para sahabat Nabi. “Barang siapa yang suka mencaci Nabi, maka harus dibunuh. Barang siapa yang mencaci sahabat, maka harus diranjam,” demikian Ibnu Taimiyyah. Perkataan yang kedua tentu saja menjurus kepada para ulama Syi’ah yang suka “mengutuk” (terutama) para tiga Khaliffah Rasul awal dan Siti Aisyah. Penulis tidak sepakat dengan perkataaan Ibnu Taimiyyah yang ini, terlalu menyeramkan. Tak perlu kita berkata seperti perkataan Ibnu Taimiyyah di atas. Ya, dialog yang harus kita lakukan tanpa harus memfatwakan hukuman segala rupa.

Penulis ingin mengakhiri makalah ini dengan mencuplik firman Tuhan, “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (sahabat Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (sahabat Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (sahabat Muhajirin); dan mereka mengutamakan (sahabat Muhajrin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)…’”(QS. Al-Hasyru: 9).

 

Catatan Kaki

[1] Jalaluddin Rakhmat, Al-Musthafa: Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi Saw (Bandung: Muthahhari Press, 2002), hlm. 55.

[2] Ibid., hlm. 121.

[3] Sunan Baihaqi, juz 8, hlm. 165.

[4] Shahih Bukhari, hadits no. 2626.

[5] Ibn Hajar al-Ashqalani, Fathu al-Bârî (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), juz . 13, Bab Kitab al-Ahkam, hlm. 234.

[6] Tasmiyyatul-Fuqahâ’ Al-Amshâr, juz 1: 126

[7] Sîru ‘Alamu An-Nabalâ’ . Juz 1: 126

[8] Thabaqât Al-Muhadditsîn. Juz 1: 40

[9] Muhammad ibn Idris As-Syafi’i, al-Um (Beirut: Dar al-Fikr, 192), juz 1, hlm. 265.

[10] Ahmad ibn Adz-Dzahabi, Al-Muqidzah fî ‘ilm Musthalah Al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm. 145.

[11] Ibn Abdul-Barr, al-Tamhîd limâ fî al-Muwaththa’ min al-Ma’anî wa al-Masânid (Maroko: Wuzarah al-Waqaf, 1967),  jilid 1., hlm. 30.    

[12] Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Tinta Mas, 1982).

[13] Thaha Husein, ‘Ala Hamishah al-Shirah (Mesir: Dar Maktatah al-Islamiah, 1996), hlm. 34.

 

Bagikan:

Berikan Komentar