KOTA TASIKMALAYA, AKANKAH TETAP MENJADI TERMISKIN SE JAWA BARAT?

Mia Wastuti, S.Sos., M.Sc., M.Eng.

Pekerja Sosial

Suatu hari saya mengantar seorang kawan berputar-putar di pusat perbelanjaan Kota Tasikmalaya. Hal yang dia pertanyakan adalah apakah benar Kota Tasikmalaya termiskin se Jawa Barat?  Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana “pembangunan” yang sedang berlangsung, diantaranya dua rumah sakit yang sedang dibangun di akhir masa pandemi.

Kemudian saya membawanya ke daerah Kawalu dan Tamansari. Lagi-lagi dia bertanya, INI MASIH KOTA TASIKMALAYA?

Kedua pertanyaan tersebut mengajak berkomtemplasi. Wajah kota sebagai sebuah entitas sangat kontras dengan situasi di pinggiran Kota Tasikmalaya. Tidak jarang kita mendengar candaan kota rasa desa untuk Tasikmalaya.

Kota Tasikmalaya adalah pemekaran dari Kabupaten Tasikmalaya, manjadi daerah otonom per Oktober 2001. Saat itu hanya ada 8 kecamatan yang dimekarkan menjadi 10 kecamatan beberapa tahun kemudian. Demikian juga jumlah desa/kelurahan.

Karena status kota inilah, satuan terkecil pemerintahan dari Desa berubah menjadi Kelurahan, sebagaimana Peraturan Daerah No. 30 Thn 2003 tentang Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan di Wilayah Kota Tasikmalaya. Perubahan yang ditindaklanjuti teknisnya dengan Keputusan Walikota Nomor 50/2004 tertanggal 7 Oktober 2004 ini adalah wujud janji politik Walikota kepada Kepala Desa. Sebagian besar Kepala Desa yang memenuhi syarat diangkat menjadi Lurah,

Lantas, apa dampaknya?

Pertama. Perubahan pimpinan, Kepala Desa menjadi Lurah, Kepala Desa dipilih langsung oleh masyarakat setempat berubah menjadi Lurah, PNS yang diangkat dan dilantik oleh Walikota dan ditempatkan di Kelurahan tertentu dengan eselonering 4a. Lurah dibantu oleh Sekretaris Lurah dan para Kepala Seksi.  Penempatan Lurah ini seringkali tidak mempertimbangkan domisili Lurah dan lokasi Kelurahan yang dipimpinnya.

Kepala Desa karena dipilih oleh masyarakat setempat relatif lebih mengenal dan dikenal warganya dibanding Lurah yang yang tidak ditempatkan sesuai domisili. Hal ini berdampak positif dan negatif.

Dampak positifnya, Kepala Desa tidak memerlukan pemetaan sosiogeografis daerahnya sebelum bekerja. Karena dia bagian dari warga dan bertempat tinggal di tempat yang sama. Sementara Lurah memerlukan pembacaan dan pemetaan sosiogeografis sebelum bekerja. Hal ini tentu bukan pekerjaan mudah. Apalagi kalau kita lihat fakta para Lurah waktu itu sebagian besar sudah senior. Meskipun dengan kebijakan dan pengalamannya dapat diharapkan mampu bekerja lebih optimal namun tetap tahapan pertama harus dilalui.

Pemahaman mengenai sosiogeografis diperlukan karena kelurahan menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat yang berhubungan langsung dengan para penerima layanan pemerintah. Mulai dari perencanaan pembangunan fisik dan non fisik sampai pada menyampaikan kritik/masukan mengenai peristiwa dan dinamika yang terjadi di masyarakat.

Dampak yang tidak langsung disadari adalah meningkatnya status kemiskinan Kota Tasikmalaya. KOK BISA? Apa hubungannya?

Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), kemiskinan diukur dengan Angka Kemiskinan yang terdiri dari Garis Kemiskinan, jumlah {persentase) penduduk miskin, Kedalaman Kemiskinan, dan Keparahan Kemiskinan.

Garis Kemiskinan

Konsep yang dipakai BPS adalah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) Konsep ini diketahui mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang disusun oleh Bank Dunia, sehingga kemiskinan dipandang sebagai kondisi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar makanan (Garis Kemiskinan Makanan/GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKNM).

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan non-makanan berupa perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

Penghitungan garis kemiskinan ini diilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Di sinilah status wilayah Kota dan Kabupaten sebagaimana Kelurahan dan Desa mempengaruhi tingkat kemiskinan suatu daerah.

Wilayah Jawa BaratGaris Kemiskinan Menurut Kab/Kota (Rupiah/Perkapita/Perbulan)
tahun 2019 2020 2021
Provinsi Jawa Barat              386,198              410,988                427,402
Garut              301,202              310,437                320,050
Kabupaten Tasikmalaya              311,848              323,880                333,909
Ciamis              363,750              378,108                389,676
Kuningan              340,775              352,358                358,069
Cirebon              381,372              393,452                404,635
Majalengka              445,184              453,201                466,813
Sumedang              342,073              353,092                360,054
Pangandaran              367,748              382,264                394,101
Kota Tasikmalaya              457,899              470,150                480,341
Kota Banjar              334,590              344,363                357,210

Disarikan dariUrl: https://jabar.bps.go.id/indicator/23/411/1/garis-kemiskinan-menurut-kab-kota.html

Dari tabel di atas terlihat, bagaimana Garis Kemiskinan Kota Tasikmalaya jauh di atas Garis Kemiskinan Provinsi Jawa Barat. Dibandingkan dengan daerah lain di Priangan Timur dan Cirebon, Garis Kemiskinan Kota Tasikmalaya tetap lebih tinggi.

Banjar yang samasama berstatus Kota memiliki Garis Kemiskinan jauh lebih rendah dibanding Kota Tasikmalaya. Hal ini dimungkinkan karena Kota Banjar sebagian daerahnya masih berstatus Desa, belum menjadi Kelurahan secara keseluruhan. Sehingga pengukuran Garis Kemiskinannya menggunakan indikator campuran, disesuaikan dengan status Desa atau Kelurahan.

Dua Kabupaten dengan Garis Kemiskinan terendah adalah Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya. Kabupaten yang relatif dekat ke Kota Tasikmalaya dan menjadi penyangga bagi Kota Tasikmalaya. Kedua Kabupaten yang corak ekonominya tidak terlalu jauh berbeda dari sebagian besar penduduk Kota Tasikmalaya memiliki Garis Kemiskinan rendah karena diukur dengan standar kabupaten.

Secara operasional, Garis Kemiskinan ini berarti kebutuhan per orang per bulan. Jika pendapatan per orang kurang dari Rp 480.000,00 per bulan, maka dia termasuk kelompok miskin. Untuk satu keluarga dengan satu istri dan dua anak, agar tidak termasuk keluarga miskin, maka pendapatan minimal keluarga per bulan adalah Rp 1.940.000,00. 

Jumlah (persentase) Penduduk Miskin

Head Count Index (HCI-P0) adalah persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). Pada tahun 2021, jumlah persentase penduduk miskin di Kota Tasikmalaya adalah 13,13%. Artinya, ada 13,13% dari total penduduk Kota Tasikmalaya yang pendapatannya per orang sama dengan atau kurang dari Garis Kemiskinan Kota Tasikmalaya pada tahun 2021 adalah Rp 480.341/bulan.


Indeks Kedalaman Kemiskinan

Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Ini adalah range antara pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Dengan mengetahui Kedalaman Kemiskinan ini, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dapat menyelenggarakan kegiatan untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin agar keluar dari standar kemiskinan.

Indeks Keparahan Kemiskinan

Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Secara sederhana ini bisa dikatakan indeks gini diantara orang miskin. Memahami indeks keparahan kemiskinan memberikan gambaran siapa yang harus kita berikan prioritas intervensi program pengentasan kemiskinan.

Tahun
Year
Indeks Kedalaman Kemiskinan
Poverty Gap Index
Indeks Keparahan Kemiskinan
Poverty Severity Index
20143.120.86
20152.850.69
20162.370.57
20172.010.42
20181.521.98
20190.310.53
20201.750.39
20212.420.69

Salah satu misi Pemerintah Kota Tasikmalaya 2017-2022 adalah menurunkan Angka Kemiskinan 1% per tahun. Dimulai dengan angka 14,48 pada 2017 dan masih di angka 13,13 pada 2022. Sempat mencapai 12 Memberikan akses pekerjaan dan pendapatan kepada masyrakat miskin untuk mencapai penghasilan Rp 480.341/orang/bulan tentu tidak mudah. Selain karena koordinasi antar para pemangku kepentingan untuk menyelenggarakan program pengentasan kemiskinan.

Selama lima tahun berturut-turut Kota Tasikmalaya selalu menjadi daerah termiskin di Jawa Barat. Ini bukanlah prestasi atau hal yang membanggakan. Pemerintah Kota Tasikmalaya sebagaimana Pemerintah daerah lain, memiliki Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang bertugas mengkoordinasikan program-program pengentasan kemiskinan, baik antara instansi pemerintah, swasta, universitas, maupun masyarakat. Pemerintah Kota Tasikmalaya juga telah memiliki dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang harusnya dijadikan pegangan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan pengentasan kemiskinan.

Daripada sulit melaksanakan rencana yang sudah disusun tersebut, apakah tidak terbersit keinginan menurunkan Angka Kemiskinan dengan cara out of the box? Mengusulkan untuk mengembalikan status sebagian Kelurahan menjadi Desa, misalnya? Tokh secara faktual, sebagian besar Kelurahan masih bercorak perdesaan.

Facebook
WhatsApp
Telegram

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Newsletter

Latest Post