Oleh: Fauz Noor, santri Sukahideng 1992-1998.
“Tiada seorang pun yang menderita seperti apa yang aku derita di (jalan) Allah.” (al-Hadits)
DUNIA yang fana ini, bukanlah tempat pahala Allahu Ta’ala. Dunia yang terbatas ini, juga bukanlah tempat siksaan-Nya. Dunia ini adalah tempat melaksanakan tugas, adalah tempat untuk lulus dalam ujian. Karena hidup dan mati tak lain adalah ujian (Q.S. al-Mulk: 2).
Barangkali kita suka mendengar, pahala di dunia saja sudah didapat, apalagi pahala di akhirat. Kita juga tak jarang suka berkata, ketika musibah menimpa, banyak dari kita merasa bahwa ini adalah siksaan-Nya di dunia. Mungkin ujaran ini tepat, hanya saja bukan dalam makna “pahala” dan “siksaan” secara absolut.
Dunia bukan tempat pahala dan siksaan-Nya. Dunia adalah tempat ujian. Hal ini karena pahala Allahu Ta’ala bersifat murni, tak tercampur oleh apa pun. Sementara kenikmatan, seperti apa pun, yang dirasa di dunia selalu bercampur dengan kepedihan. Sebagai misal, ketika kita merasakan kenikmatan, seketika itu kita ingat akan kepedihan saudara kita, sudah tentu “kenikmatan ini tidak murni” karena terisi pedih. Bahkan, seperti ujaran Aristoteles, kenikmatan di dunia hanya terletak dalam menghindari kesedihan. Singkat kata, di dunia ini kenikmatan selalu menyimpan kepedihan atau diikuti oleh kesedihan. Begitu pula kesusahan atau kepedihan, di dunia ini tak bersifat absolut atau murni. Jika kesusahan itu diterima dengan penuh kesabaran, diterima dengan terus berdzikir mengingat Allahu Ta’ala, bukan tak mungkin segala derita akan terasa nikmat. “Ingatlah hanya dengan berdzikir kepada Allah yang bisa membuat hati tenang.” (Q.S. ar-Ra’du: 18).
Karena dunia tempat ujian, terkenallah hadits yang berkata bahwa Rasulullah shallahu’alaihi was-salam sampai takjub terhadap seorang mukmin, “Jika ditimpa derita mereka bersabar, jika ditimpa suka mereka bersyukur, dan keduanya adalah baik semata.” Itu sebab, kita juga membaca dan yakin bahwa dunia adalah ladang akhirat. Dan hanyalah di kehidupan akhirat semata pahala dan siksaan benar-benar absolut bagi umat manusia.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja berkata ‘kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2). “Dan Kami pisahkan mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan, di antaranya ada orang-orang yang saleh dan ada yang tidak demikian. Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada Allahu Ta’ala).” (QS. Al-A’raaf: 168). Artinya, dunia adalah tempat pemisahan, siapa yang beriman dan siapa yang tak-beriman, siapa yang lulus ujian dan siapa yang tak-lulus, untuk kemudian menempati kebahagiaan atau kepedihan absolut.
Derita Para Kekasih Allahu Ta’ala
Dalam al-Quran kita membaca derita yang dijalani para nabi. Nabi Ayub ‘alaihissalam barangkali kisah yang paling poupuler. Ketika derita menimpa, konon sampai 18 tahun, Nabi Ayub bersabar dan bermunajat, (Q.S. Anbiya: 83).
رَبِّ إِنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Sekalipun ditimpa penyakit, Nabi Ayub terus berkata, “Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” Derita yang dijalani, dimaknai para kekasih Allahu Ta’ala sebagai kasih-sayang-Nya.
Banyak riwayat (mungkin tepatnya pendapat) tentang derita atau sakit Nabi Ayub ‘alaihissalam. Satu pendapat berkata berkata bahwa sakit Nabi Ayub sampai menjijikan. Tak jarang, para Ajengan yang mengisahkan cerita Nabi Ayub dengan mendramatisir sampai tubuh Nabi Ayub penuh belatung. Satu pendapat yang lain, seperti keyakinan seorang filsuf kenamaan, Syekh Nasruddin at-Thusi, dalam kitabnya at-Tajrid berkata, “Hal-hal yang harus terhindar dari para Nabi dan para Wali adalah apa yang dipandang sebagai sesuatu yang menjijikan.” Pada pendapat kedua ini, sungguh tak mungkin seorang nabi sampai sakit dengan tubuh penuh belatung. Pendapat kedua barangkali bisa diterima benak sehat. Hanya saja, para ulama pendukung pendapat pertama berdalih bahwa ketinggian ruhani tak berkaitan dengan alam badani. Bagi pendukung pendapat pertama, sekalipun penyakit begitu menjijikan, tidak mengurangi kemuliaan dan keunggulan kedudukan para kekasih Allahu Ta’ala secara ruhani.
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, yang bisa kita baca dalam pelbagai kitab Tafsir al-Quran, yang pasti derita yang dijalani para kekasih Allah tak membuat mereka hilang dalam rasa syukur. Mereka begitu bersyukur atas kesabaran yang terus mereka ikhtiarkan. Mereka tak protes. Mereka tak mengaduh. Mereka tak mengeluh. Semua derita malah semakin mendekatkan mereka kepada Allahu Ta’ala. Seperti Nabi Ayub a’laihis-salam, mereka sungguh berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Satu hadits melalui Sa’ad ibn Abi Waqas radhiyallahu ‘anhu sampai kepada kita:
قلتُ: يا رسولَ اللَّهِ، أيُّ النَّاسِ أشدُّ بلاءً؟ قال: الأنبياءُ ثمَّ الأمثلُ فالأمثَلُ، فيُبتلى الرَّجلُ على حسْبِ دينِه، فإن كانَ في دينهِ صلبًا اشتدَّ بلاؤُهُ، وإن كانَ في دينِهِ رقَّةٌ ابتليَ على حسْبِ دينِه، فما يبرحُ البلاءُ بالعبدِ حتَّى يترُكَهُ يمشي على الأرضِ ما عليْهِ خطيئةٌ
“Ya Rasullah, siapa manusia yang paling berat cobaannya? Berkata Rasulullah, ‘Para Nabi, kemudian yang semisal, kemudian yang semisalnya lagi. Sesungguhnya seseorang diberi cobaan seukuran kadar agamanya. Jika agamanya lemah, maka seseorang akan diuji menurut kualitas agamanya. Seorang hamba akan mendapat cobaan sehingga berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (Sunan at-Tirmidzi, no. 2398. Sunan Ibnu Majah, no. 4024, dll).
Semakin berat derita yang diterima, semakin tinggi kualitas agamanya di hadapan Allahu Ta’ala. Kita pun membaca dalam satu hadits masyhur, diriwayatkan oleh Anas ibn Malik radhiyalahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alahi was-salam bersabda, “Tiada seorang pun yang mederita seperti apa yang kuderita di (jalan) Allah” (Ibn Hiban, al-Majruhin minal-Muhaditsin, 2: 243). Bagaimana tidak? Rasulullah dari kecil sudah yatim dan tumbuh di lingkungan jahiliyah. Membayangkan saja sudah begitu menyesakan dada, sungguh begitu mulia pribadi Rasulullah shallahu’alaihi was-salam.
KH. A Wahab Muhsin dan Deritanya
KH. A. Wahab Muhsin (pak Wahab), seorang pribadi mulia, seorang yang siapa pun yang mengenalkan akan belajar banyak tentang sabar dalam derita, dengan terus mensyukuri segala karunia Allahu Ta’ala. Kala usai belasan tahun, mungkin tepatnya 16 tahun, ia ditinggal wafat ayahandanya KH. Zainal Muhsin. Kala itu, ia adalah putra sulung dengan enam orang adik. Artinya, kala itu ia menjadi Kakak sekaligus Bapak bagi adik-adiknya. Dengan kesabaran hampir paripurna, ia jalankan dua peran ini dengan penuh kesungguhan, dan hasilnya sungguh membanggakan. Semua adik-adiknya, yang ia didik sendiri di pesantren Sukahideng, menjadi pribadi-pribadi mulia dengan keilmuan yang membuat siapa pun bangga. Sebut saja, KH. Fuad Muhsin dan KH. Syihabuddin Muhsin, dua ulama kebanggaan umat, wabil-khusus Tasikmalaya. Dan siapa pun akan tercengang, dalam menjalankan dua peran itu, ia berbekal nyantri di Pesantren Sukamanah hanya tiga tahun saja. Hanya tiga tahun saja. Hanya atas karunia dan rahmat Allahu Ta’ala semua itu sungguh menggetarkan jiwa kita.
Penulis telah menyusun secuil biografi KH. A. Wahab Muhsin, Cahaya Muhsin, jika berkenan pembaca bisa membaca buku itu. Kali ini, penulis akan mengisahkan “derita” KH. A. Wahab Muhsin kala beliau sakit selama 11 tahun, sampai beliau wafat meninggalkan kita semua.
Penulis adalah santri Sukahideng (1992-1998). Pada masa ini, pak Wahab sedang dalam kondisi sakit. Ia sakit semenjak tahun 1989. Enam tahun di Sukahideng, tak banyak pertemuan dengan beliau. Dan penulis suka sekali, jika kebetulan beliau ke luar rumah untuk sekedar jalan-ringan, biasanya dengan bertongkat, dan penulis menatapnya dari jauh. Dari balik jendela kamar 24 Asrama Bahagia, penulis melihatnya sedang berjalan di depan asrama As-Salam atau halaman pesantren. Sesekali, penulis menatapnya berdiam diri sendirian di beranda rumah, sementara penulis terpaku di Mesjid Pusaka. Dari garis wajah yang penulis saksikan, rona penuh kesabaran memancar dari wajahnya. Sungguh tak banyak pengalaman seperti ini, sekedar menatap wajah seseorang, dalam hati begitu senang dan tentram, salah satunya adalah menatap wajah KH. A. Wahab Muhsin walau sekedar dari jarak tertentu.
Dari Kang Cecep Nanang, seseorang yang biasa membantu di rumah pak Wahab, penulis dapat cerita, bahwa dalam kondisi sakit tak jarang pak Wahab terjatuh. Pernah pak Wahab sampai jatuh di jamban. Kang Cecep mendapati pak Wahab terduduk di lantai dengan kening berdarah. Tiada suara rintih. Tiada mengaduh. Tak ada suara apa pun. Pak Wahab hanya terdiam. Hanya terdiam, dengan tatapan mata teduh. “Sama sekali tak ada keluh,” ujar Kang Cecep. Sungguh pak Wahab adalah pribadi tangguh, tahan derita, dan sumerah atas kehendak Yang Maha Kuasa. Sungguh derita benar-benar diterima dengan lapang-dada, tanda mentalitas seorang hamba, peraih makna kekasih Allahu Ta’ala.
Satu yang banyak diceritakan oleh banyak orang, baik keluarganya atau pun santri-santrinya (sebut saja bapak saya, KH. Ijad Noorzaman, santri Sukahideng 1968-1978), pak Wahab adalah pribadi yang tak pernah marah. Bapak saya sering berkata, “Sepanjang nyantri di Sukahideng, tak pernah satu kali pun saya dapati pak Wahab marah.” Menurut KH. Ii Abdul Basith Wahab, putra pak Wahab, “Jika Abah (panggilan putra-putrinya) kesal terhadap salah seorang dari kami, ekspresinya hanya berdiam diri. Hanya diam, dan kami mengerti.” Pak Wahab benar-benar menjadi pribadi yang berhasil membumikan pesan Rasulullah shallahu ‘alahi was-salam, “Jangan marah. Jangan marah. Jangan marah.” Dalam kondisi sakit, lisan tak mampu bicara dan berjalan pun tertatih-tatih, pak Wahab tak jarang terjatuh, bahkan sampai kepalanya berdarah. Pasti dalam hatinya bergolak rasa kesal, minimal atas diri dan peristiwa yang baru saja teralami. Dan apa yang terjadi? Sama sekali tak terdengar suara apa pun apalagi sampai lontaran-kekesalan. Tidak ada! Pak Wahab hanya diam. Hanya terdiam dan membungkam. Boleh jadi sebagian orang mengalami hal serupa, dan yang terjadi adalah mengucapkan lafadz-lafadz dzikir, hanya saja lafadz-lafadz itu malah diujarkan dengan nada rintihan atau kekesalan. Tidak! Pak Wahab tidak demikian. Ia hanya diam. Ia sumerah. Ia berserah. Saya menduga, dalam hati pak Wahab terus mengingat Allahu Ta’ala. Sungguh prestasi olah jiwa yang sukar untuk diteladani. Sungguh prestasi yang hanya bisa dimiliki oleh para kekasih Allahu Ta’ala.
Dalam kondisi sakit, di satu pagi, selepas pulang pengajian bkda subuh, saya lihat pak Wahab terduduk di beranda rumahnya. Saya dapati pak Wahab menangis. Sering ia berlinang air mata. Ia berduka, dengan alasan yang kita semua para santrinya akan mengelus dada. Ia berduka, karena tak tahan melihat santri di kelas dan ingin kembali mengajar. Gemuruh duka di dadanya, adalah karena begitu mecintai santri-santrinya. Linangan bening keluar dari dua sudut matanya, adalah karena ingin bersama santri, melupakan sakit dalam tubuh, mendaras firman Ilahi dan sabda Nabi. Ia berduka, karena jiwanya sungguh mulia, ingin terus mengabdi kepada agama, sementara untuk sekedar berkata pun ia sudah tak kuasa.
Sebelas tahun lamanya pak Wahab menderita sakit. Waktu yang tak bisa dianggap sebentar. Menurut dokter yang biasa merawatnya, penyebab sakit beliau adalah kelelahan. Ya, kelelahan. Bukankah lelah adalah tabiat manusia? Bukankah lelah adalah sesuatu yang kodrati dalam hidup manusia? La qad khalaqnal-insân fî kabad. Tetapi bagi para kekasih Allah, kelelahan “seolah” menjadi kata yang tak boleh tertulis dalam kamus kehidupannya. Semua waktu dan tenaganya, diabdikan bagi umat dan Allahu Ta’ala.
Banyak khobar sampai kepada kita, pak Wahab “seolah” pribadi yang tak kenal lelah. Semua yang melekat pada dirinya, ilmu dan tenaganya, ia persembahkan untuk mendidik adik-adiknya, putra-putrinya, santri-santrinya, dan segenap umat. Begitu besar lelah yang ia alamai, begitu hebat pula pengabdian yang telah ia persembahan kepada sejarah. Ribuan alumni Sukahideng, dengan setumpuk prestasi mereka masing-masing, adalah saksi hidup besarnya pengabdian pak Wahab bagi manusia. Pesantren Sukahideng, dengan santri sekarang ini tak kurang dari 2000 orang, adalah saksi nyata kuatnya pak Wahab dalam melawan rasa lelah.
Satu lagi, dari derita yang hebat ia syukuri dalam penghambaan kepada Allahu Ta’ala, kematian pak Wahab yang indah dan sungguh indah, dengan banyak orang yang menjadi saksi – salah satunya KH. Ii Abdul Basith Wahab, adalah fakta yang tak bisa ditolak oleh siapa pun: wafat khusnul-khatimah. Pak Wahab wafat, “Sambil tersenyum, dengan senyuman yang terbawa sampai liang lahat, dan seolah memancarkan cahaya dari wajahnya.” Âmîn Allâhumma âmîn.
Sesekali saya berziarah ke maqbarah KH. A. Wahab Muhsin, selepas mendoakan, sambil terdiam dalam hati berkata, “Sungguh besar derita yang Bapak jalani, sungguh besar pula teladan yang Bapak tinggalkan kepada kami. Surga, pahala absolut, adalah sejatinya tempat Bapak.” []
Pesantren Fauzan, 3 Desember 2022.