ibnu-taimiyah

Diposting oleh:

Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah
Oleh Fauz Noor
Satu pengalaman kurang menyenangkan singgah, ketika saya berkunjung ke satu pesantren ternama. Satu diskusi terjadi disana, dan nyerempet tentang Ibnu Taimiyah. Saya menangkap ada kesan kurang hormat, bahkan nada ejekan terlontar di sana terhadap ulama asal Dimisyki ini. Ya Tuhan, jauhkanlah kami dari su’ul adab terhadap para ulama.
Saya paham, di dunia Pesantren, nama Ibnu Taimiyah kurang populer, bahkan dominan disana klaim bahwa ulama yang – bernama lengkap Ahmad Taqiuddin Abu al-‘Abbas Ahmad ibn ‘Abdul Halim ibn Abdussalam ibn Abi al-Qasim ibn Muhammad ibn Taimiyah al-Dimisyqi – menjadi “sumber” paham Wahabi. Saya tak menolak itu, hanya saja “kualitas sumber” disana memerlukan kehati-hatian yang tidak sederhana untuk membahasnya. Karena, tidak semua paham Ibnu Taimiyah lalu “diadopsi” paham Wahabi.

“Ketika melihat Ibnu Taimiyah, lihatlah murid terkasihnya, yaitu Ibn Katsir,” demikian pesan guruku KH. Ii Abdul Batsit, sesepuh Pondok Pesantren Sukahideng. Tafsir Ibnu Katsir, satu tafsir otoritatif bagi dunia Pesantren, dalam Muqadimah-nya menerangkan metodologi penafsiran yang dipakai ketika menulis kitab tersebut. Ibn Katsir memakai metode bil-ma’tsur yang tidak serampangan. Ia tidak sekedar mengumpulkan riwayat tentang ayat-ayat yang dibahas, tetapi melakukan tarjih sebagian riwayat akan riwayat yang lain, bahkan jika perlu menolak semuanya, baik dengan alasan bahwa riwayat-riwayat itu sangat fantastik, tidak dapat dicerna akal, maupun dengan alasan-alasan lainnya. Nah, siapapun yang membaca Muqadimah Tafsir Ibn Katsir, lalu menelaah secara seksama Muqadimah fi Ushul al-Tafsir karya Ibnu Taimiyah, maka ia akan mendapatkan bahwa Muqadimah Tafsir Ibn Katsir adalah “salinan” utuh pemikiran Ibnu Taimiyah. Nampak jelas di Kitab Tafsir itu, Ibnu Katsir berusaha sekeras mungkin untuk bersikap konsisten akan metodologi tafsir yang dicetuskan gurunya. Entah apa maksud dari Ibnu Katsir ketika dalam Muqadimah kitab tafsirnya tak sekalipun mengutip nama Ibnu Taimiyah, tidak jelas apakah itu semacam taqiyyah atau kebetulan saja. Hanya saja, di halaman-halaman awal Tafsir Ibnu Katsir, Fawatih al-Suwar, Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Taimiyah, dan menyebutnya dengan penghormatan, Syaikh al-Imam al-‘Allamah Ibnu Taimiyah.

Dalam kitab yang lain, al-Bidayah wa al-Nihayah, satu kitab sejarah yang berkisah dari mulai awal penciptaan alam sampai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Ibnu Katsir hidup (768 H, enam tahun sebelum ulama bermadzhab Syafi’i itu wafat), Ibnu Katsir memaparkan tantangan yang dihadapi Ibnu Taimiyah dari orang-orang yang menentang pemikirannya. Bagi Ibnu Katsir, cercaan, hinaan, ejekan yang datang kepada gurunya itu, “hanyalah manifestasi dari rasa iri dan dengki orang terhadap keberhasilan Ibnu Taimiyah”. (lihat, Bidayah wa al-Nihayah, jil. 14, hlm. 37). Pada jilid ke empat belas, dalam Kitab ini, nampak dengan jelas perhatian Ibnu Katsir terhadap gurunya yang satu ini. Tidak kurang dari 15 judul bahasan tentang seluk-beluk kehidupan dan perjuangan sang guru termaktub dalam jilid ini. Dalam berbagai kupasannya ini, kebesaran Ibnu Taimiyah diperhatikannya dengan jelas. Usaha-usaha Ibnu Taimiyah dalam memerangi bid’ah dipaparkannya dengan penuh rasa kagum. Simak misalnya, komentar sang murid tentang keberhasilan gurunya dalam menghapus kebiasaan shalat Nisfu Sya’ban di Masjid Damaskus pada halaman 41-46 dari jilid 14.

Sikap hormat Ibnu Katsir terhadap Ibnu Taimiyah bukanlah sikap menyendiri. Banyak ulama lain yang menaruh hormat tak terkira kepada ulama “kontroversial” ini, terutama dalam kalangan syafi’iah. Tentang in, kita bisa membaca Thabaqat as-Syaf’iyyah karya Ibnu Subki.

Sekali lagi, rasa iri dan dengki adalah sumber “kebencian” orang-orang terhadap “kecanggihan” berpikir Ibnu Taimiyah. Bahkan, sebagaimana dipaparkan Syamsuddin ad-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Huffadz, “Senadainya Ibnu Taimiyah tidak menunjukan sikap yang keras dan kasar dalam berdiskusi, niscaya kebesarannya akan diakui secara aklamasi oleh semua orang”.

Bagi dunia Pesantren, pemikiran Ibnu Taimiyah memang kurang akrab dan kerap kali dicurigai, mengingat banyak kontradiktif dengan tradisi pesantren, semisal tentang tawasul dan tabaruk. Hanya saja, kehilangan hormat terhadap Syeikh al-Islam (gelar Ibnu Taimiyah) adalah sikap keliru besar. Bukankah dalam tradisi pesantren mengenal istilah kuwalat?

Terakhir, sikap terbuka atau inklusif terhadap warisan peradaban Islam adalah sesuatu yang urgen bagi abad informasi seperti dewasa ini. Oleh karena itu, terutama bagi dunia pesantren, berdialog dengan khazanah keilmuan Islam yang luas adalah sesuatu yang mendesak untuk segera dibumikan. Jika kita masih terkurung “otak primitif” dengan mudah curiga dan gampang menyesatkan pemikiran “orang lain”, hemat saya, kebangkitan Islam yang sudah kita impikan hampir dari dua abad silam hanya akan sebatas mimpi sepanjang masa. Bagi saya, sebagaimana sudah kami coba di Pesantren Fauzan, berdialog dengan dunia yang luas adalah kebutuhan. Oleh karena itu, kitab tipis karya Ibnu Taimiyah Ma’arij al-Wushul (satu kitab tasawuf), kami pelajari dengan tanpa risi, dan insya Allah barakah. [ ]

27 Agustus 2016

Bagikan:

Berikan Komentar